Jalan Terjal Pemberdayaan Pesantren

Ali Muhtarom

Sejak Undang-Undang nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren disahkan, kalangan pesantren menyambut gembira karena pemerintah telah memperhatikan lembaga pendidikan pesantren. Setidaknya pemerintah memperlihatkan keberpihakannya pada lembaga pendidikan pesantren karena setelah disahkannya UU tersebut, pesantren memiliki legitimasi untuk disetarakan dengan lembaga pendidikan formal.

Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa konsekuensi dari pengesahan UU pesantren tersebut juga perlu diperhatikan. Pada satu sisi UU pesantren diakui telah membawa dampak positif karena undang-undang tersebut diharapkan dapat memberikan rekognisi yang sepatutnya terhadap kekhasan pesantren di Indonesia, serta untuk memberikan afirmasi dan fasilitasi pengembangan pesantren dan pendidikan keagamaan, dengan porsi yang berkeadilan.

UU tersebut bukan menjadi “pengekang” terhadap independensi pesantren dan pendidikan keagamaan, namun sebaliknya, memberikan kesetaraan bagi pesantren untuk diakui, baik dari aspek jalur dan jenjang pendidikan secara formal. Dari segi jalur pendidikan formal, bentuk penyelenggaraan pendidikan pesantren dapat dilihat pada bentuk Satuan Pendidikan Muadalah (SPM), Pendidikan Diniyah Formal (PDF), dan Ma’had Aly. Kemudian dari aspek jenjang pendidikan, baik Satuan Pendidikan Muadalah (SPM) maupun Pendidikan Diniyah Formal (PDF) terbagi pada jenjang Ula (setingkat SD/MI), Wustha (setingkat SMP/ MTs), dan Ulya (setingkat SMA/ MA). Sedangkan pada jenjang Ma’had Aly terbagi menjadi al-Marahlah al-Ula (setingkat S1), al-Marahlah al-Tsaniyah (setingkat S2), dan al-Marahlah al-Tsalisah (setingkat S3).

Terdapat tantangan terjal bagi pesantren dalam mewujudkan amanah UU pesantren tersebut. Tantangan terjal tersebut tidak bisa dipisahkan dari keseriusan pemerintah. Sejak UU pesantren disahkan pada tahun 2019, posisi pesantren masih stagnan di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Pendis) Kementerian Agama Republik Indonesia. Semestinya, sejak UU pesantren disahkan, pemerintah segera mengambil langkah cepat dan strategis untuk memprioritaskan pesantren naik kelas dalam struktur kelembagaan pemerintah. Struktur kelembagaan pesantren yang seharusnya naik kelas menjadi Kementerian tersendiri, hingga saat ini masih stagnan di bawah Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok pesantren, di bawah Dirktorat Pendis.

Pada saat yang sama, tantangan berat yang dihadapi lembaga pendidikan pesantren terletak pada status kelembagaannya yang fokus pada penguatan keilmuan Islam (tafaqquh fiddin). Kondisi ini akan melahirkan kontestasi yang secara internal berhadapan dengan sistem kependidikan Islam di Indonesia. Kontestasi yang saya maksud adalah posisi pesantren dalam ranah kelembagaan dalam waktu bersamaan dihadapkan dengan kelembagaan jalur formal Pendidikan Islam, khususnya pada jenjang pendidikan tinggi keagamaan Islam yang berada dibawah Direktorat PTKI Kementerian Agama RI.

Secara kualitas diakui bahwa keilmuan Islam yang berada pada jenjang pendidikan tinggi pesantren (Ma’had Aly) tidak diragukan karena pembelajarannya terfokus pada penguatan literasi dan penguasaan turats (sumber otentik) keislaman yang kuat. Namun, dari segi kontestasi kelembagaan, pesantren akan berhadapan dengan kelembagaan pendidikan tinggi keagamaan Islam yang sudah lama menjadi benteng studi keislaman formal seperti berbagai Universitas Islam Negeri di Indonesia.

Persoalan lain yang hingga saat ini masih menjadi jalan terjal dari pemberdayaan pesantren juga belum mendapatkan perhatian dari semua unsur kelembagaan negara. Jika negara telah mengakui kontribusi pesantren dalam membantu pemerintah melaksanakan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengafirmasi melalui perangkatnya dari pusat hingga daerah membantu dan memfasilitasi pelaksanann pendidikan pesantren, maka amanah UU pesantren tersebut seharusnya mampu secepatnya diwujudkan.

UU pesantren tersebut dapat menjadi payung hukum bagi pemerintah daerah untuk bekerjasama dengan pesantren dalam pemberdayaan masyarakat, terutama bidang ekonomi yang terkait dengan potensi local sebagai payung hukum bagi pemerintah daerah untuk bekerjasama dengan pesantren dalam pemberdayaan masyarakat, terutama bidang ekonomi yang terkait dengan potensi lokal. Namun, dalam kenyataannya hingga saat ini belum terlaksana dengan baik. Bahkan, hampir seluruh wilayah/ pemerintah daerah belum mampu memastikan pemberian fasilatas dan pembiayaan untuk pesantren karena terkendala aturan di masing-masing daerah. Jika semua pihak komitmen dalam melakukan pemberdayaan pesantren, maka sinergi dan kebersamaan dari semua unsur, baik legislatif, eksekutif, para tokoh, ormas, dan akademisi  perlu menjalin kemitraan dalam semangat pemberdayaan pesantren.

Artikel telah diterbitkan di Koran Banten Pos pada 19 Februari 2024