Beauty Contest dan Ide PEMILU Halal

M. Ishom El Saha

Mungkinkah isu halal movement diintervensikan ke dalam Pemilu? Pertanyaan ini muncul dilatarbelakangi proses penyelenggaraan Pemilu, kontestasi peserta Pemilu, dan partisipasi masyarakat pada Pemilu 2024.

Isu halal movement tidak hanya berhubungan dengan makanan dan minuman. Dalam regulasi halal bahkan menyasar ke semua produk dan jasa untuk perlindungan konsumen Indonesia. Begitu pun halal di lapisan masyarakat juga telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari live still keseharian mereka. Dus dalam Pemilu terdapat banyak irisan dengan isu halal movement.

Sebagai contoh kasus serangan fajar atau money politics. Diksi yang berkembang dan terbangun di tengah masyarakat adalah berkaitan dengan etika, sehingga ada yang menerima dan menolaknya. Jargon “silahkan diterima, tapi jangan dipilih” menjadi bukti bukti bahwa money politics itu dipahami sebatas dalam ruang lingkup etika, bukan hukum.

Contoh lain adalah kemasan kampanye sebagai ajang pengenalan visi dan misi kontestan Pemilu tapi dikemas dengan joged massal sampai bertendensi erotis, dan lain lain. Pemahaman yang berkembang di masyarakat  bahwa pawai dan kampanye adalah “pesta” bukan esensi perkenalan dengan kontestan. Banyak yang bersikap permisif menyikapi masalah ini karena dianggap bukan bersentuhan dengan hukum, tetapi hanya kepatutan etika.

Dari beberapa contoh itu, apa tidak mungkin dibuatkan instrumen beauty contest untuk standar Pemilu halal? Tujuannya bukan islamisasi Pemilu –sebab halal movement di Indonesia sekarang ini bukan menjadi gerakan identitas, lebih dari itu adalah mengahasilkan Pemilu yang bermartabat dan demokratis untuk kemajuan Indonesia.

Apalagi indeks demokrasi Indonesia semakin menurun. Di antara negara-negara ASEAN peringkat Indonesia sedikit di atas Myanmar dan di bawah Timor Leste. Penyumbang jebloknya indeks demokrasi Indonesia adalah Pemilu. Jadi, sangat logis dibuatkan instrumen Pemilu halal dengan pendekatan beauty contest.