Aksi Teror Itu Merusak Citra Islam

Oleh: Tim Rumah Daulat Buku (Rudalku)

Seorang guru yang pernah terlibat dalam aksi penyerangan polisi di Solo menyadari tindakannya keliru. Di penjara ia mengajar mengaji sejumlah narapidana kasus non-terorisme. Ia tidak lagi menghukumi muslim yang mengakui negara demokrasi sebagai kafir.   

Siang itu langit Garut berawan. Di teras rumah di sebuah kompleks perumahan di Limbangan Timur, Kabupaten Garut, Jawa Barat, itu kami membuka perbincangan lalu bergeser ke ruang tamu saat hujan deras. Teras yang cukup lapang dengan satu set sofa dilengkapi sebuah taman mini dan air terjun batu alam.

Firmansyah sang tuan rumah tinggal bersama istrinya Zulfa Luthfi dan tiga putranya. “Kami tinggal di rumah ini sejak 2019. Rumah milik orang tua yang baru selesai dibangun dan tidak ada yang menghuni,” tutur Firman.

geliat.id

Selesai menjalani vonis di Lapas Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Firman bersama keluarga tinggal berpindah-pindah. Pernah empat bulan Depok, sempat tinggal di kediaman keluarga istrinya di Cilegon, kemudian kembali ke tempat kelahiran Firman di Garut.

Menjadi Santri Lalu Mengabdi

Firman lahir pada 1992 di Karang Pawitan, Kabupaten Garut. Limbangan Timur – Karang Pawitan berjarak 25 kilometer ke arah kota Garut. Setamat dari pendidikan sekolah dasar pada 2005, sulung dari dua bersaudara ini, belajar di Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Setelah enam tahun di Pesantren dan lulus dari jenjang pendidikan Tsanawiyah dan Aliyah, ia mengabdi mengajar di Pesantren Ibnu Siena di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Saat menjadi santri di Ngruki, Firman berkesempatan mengaji kepada Ustadz Abu Bakar Ba’asyir di pengajian umum. Ia bersama santri lainnya di Pesantren Ngruki belajar ilmu umumnya tentang agama, bukan fokus pada tema jihad. “Mengaji ke Ustadz Abu yang biasa-biasa saja. Tidak ada pembahasan masalah kafir atau thogut.” Di sekolah pun, kata Firman, mengikuti kurikulum Departemen Agama.

Firman baru mengenal konsep thogut saat dirinya mengajar Bahasa Arab di Pesantren Ibnu Siena. Ia mendapatkan rekaman audio Ustadz Aman Abdurrahman dari rekan seangkatannya di Pesantren Ngruki, Ali Zaenal Abidin. “Ketika pengabdian di Pesantren Ibnu Siena, saya sering bertemu dengan Ali Zaenal. Dia yang mencarikan kajian Ustadz Aman untuk saya. Dia bilang, ini bagus, dengerin!” Sampai sekarang, kata Firman, Ali Zaenal masih berpegang teguh pada prinsip ajaran Ustadz Aman.

Terlibat Aksi Penyerangan Polisi

Pada pertengahan 2012, Ali Zaenal mengajak Firman bertemu dengan Farhan Mujahid, teman satu kelas saat di Madrasah Tsanawiyah di Pesantren Ngruki yang kembali ke Tanah Air setelah bergabung bersama kelompok Abu Sayyaf di Moro, Filipina. Sebelum bertemu Farhan, Firman terlebih dahulu bertemu dengan Bayu Setyono, teman yang merupakan pekerja di Pesantren Ngruki. “Ali bertemu Farhan, saya dipanggil sama Ali. Bertemulah dengan Farhan di Pesantren Ngruki,” kisah Firman. Dari pertemuan itulah tercetus rencana melakukan aksi.

Sebelumnya, Firman tidak berpikir akan melakukan aksi di Indonesia. Ia bercita-cita melanjutkan sekolah ke luar negeri. Tapi, cita-cita itu berubah setelah ia melihat video kezaliman terhadap muslim di Filipina. Ia pun berpikir ingin berjihad di Filipina. “Ingin jihad, mati syahid di sana. Membela kaum muslimin di sana setelah melihat video-video kezaliman,” ujar Firman. Tujuan Firman ke Moro belum terwujud karena belum cukup dana. Farhan yang pernah di Moro justru mengajaknya beraksi di Indonesia. Firman pun menerima ajakan itu. Terbentuklah sebuah kelompok yang berencana menyerang polisi yang terdiri dari Farhan, Firman sendiri, Muhsin, dan Bayu Setyono. Sementara saat itu, Ali Zaenal tidak bisa bergabung karena tengah studi. Dari lima orang itu seluruhnya teman satu angkatan di Pesantren Ngruki kecuali Bayu Setyono. Firman mengakui, pengaruh Farhan terhadap dirinya adalah karena faktor pemikiran. “Pemahaman thogut sudah ada dari bacaan Ustadz Aman.”

Firman ingin fokus mengurus keluarga yang pernah lama dia tinggalkan

Strategi Farhan dengan melakukan aksi hanya kelompok kecil, menurut Firman, agar yang lain tidak terkena imbasnya. Terbentuknya kelompok itu luput dari perhatian aparat Densus 88. “Densus 88 kaget karena saat itu Densus tengah memantau pergerakan sebuah kelompok yang akan dikirim ke Poso, Sulawesi Tengah,” ujar Firman meniru pernyataan seseorang.

“Farhan terbiasa dengan konflik. Sampai sini gatal. Menganggap polisi sebagai musuh,” ujar Firman. Rencana aksi pun disusun. Farhan merancang beberapa lokasi aksi. Firman bertugas melakukan survei lokasi, masuk dari mana dan keluar melalui jalur mana. “Rencana Farhan tidak bisa ditebak. Sebagai anggota saya ikut saja,” ujar Firman. “Kamu, pantau pos di Gemblegan. Farhan juga pernah survei ke Matahari, Singosaren, Solo.”

Pada 17 Agustus 2012 dini hari, Farhan bersama Bayu Setyono yang mengendarai motor melakukan aksinya di pos pengamanan (pospam) Gemblegan di Jalan Yos Sudarso, Solo. Farhan mempersenjatai diri dengan pistol bareta yang ia bawa dari Filipina. Firman memperkirakan, di pos saat itu ada sekira lima petugas yang berjaga. Tembakan Farhan melukai dua orang polisi. “Kalau Farhan turun dari motor kemungkinan banyak yang meninggal,” ujar Firman. “Saya tidak ikut eksekusi. Saya cuma menggambar detail situasinya. Dari sini ke mana, larinya ke mana.”

Melalui berita televisi, Firman tahu bahwa aksi itu membuat dua orang anggota polisi terluka, Bripka Margiyanto terluka pingga kiri atas, sedangkan Briptu Kukuh Budiyanto mengalami luka di ibu jari kakai kiri.

Aksi kedua dilakukan pada malam takbiran di Pos Polisi Gladak di Jalan Jenderal Sudirman, Solo, pada 18 Agustus 2012. Pelakunya juga Farhan dan Bayu. Bayu yang mengendari motor, Farhan yang melakukan pelemparan granat ke arah pos polisi. “Saya tidak tahu saat terjadi aksi kedua itu,” ujar Firman. Aksi ketiga dilakukan pada 30 Agustus 2012. Sasarannya Pos Polisi Singosaren, Solo. Dalam aksi ini Farhan menembak mati seorang polisi. “Meski saya ikut aksi pertama, saat terjadi aksi kedua dan ketiga saya kaget,” ujar Firman.

Menjadi Buruan Densus

Setelah aksi pada 17 Agustus 2012, Firman pulang ke Garut, tempat ia tinggal bersama neneknya. Farhan bertanya, ‘kapan ke Solo?’ Ia menjawab nanti, sedang mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP). Aksi kedua pada 18 Agustus ramai diberitakan televisi. Firman menduga pelakunya Farhan, tapi ia tidak sepenuhnya yakin. Setelah berlebaran pada 19 Agustus di Garut bersama neneknya, Firman kemudian ke Bandung ke rumah sang ibu.

Hanya selang sehari pasca aksi ketiga pada 30 Agustus, pada Jumat malam 31 Agustus Farhan disergap Densus 88. Proses penyergapan berujung kematian Farhan dan Muhsin serta satu anggota Densus 88. Saat hendak ditangkap, Farhan melawan, baku tembak pun terjadi. Firman tahu, bahwa senjata bareta Farhan selalu posisi ‘on’. “Motor yang dipakai Farhan patah spakbor depannya,” tutur Firman. “Begitu kendaraan Farhan-Muhsin terhenti di Depan Lotte Mart, anggota Densus 88 yang keluar yang pertama dari mobil ditembak oleh Farhan. Farhan dan Muhsin pun ditembak oleh anggota Densus 88 yang lain,” tutur Firman.

Setelah kejadian itu, polisi juga memburu Bayu Setyono. Meski selalu memperbaharui informasi melalui berita daring dan televisi, Firman menganggap dirinya tak masuk dalam daftar pencarian Densus 88. Ia merasa hanya berperan kecil pada aksi pertama. “Saya biasa aja,” ujar Firman. Saat di bandung, ia mengetahui Bayu tertangkap. “Salah saya, malam itu, setelah menonton berita penembakan Farhan dan Muhsin, saya menelepon Bayu, tapi tidak ada jawaban,” cerita Firman. Setelah itu, ia yang membawa laptop, melacak berita daring, ada berita, ‘ditangkap lagi teroris inisial B’.

Hingga berita tertangkapnya Bayu di Karanganyar pada hari yang sama dengan penyergapan Farhan dan Muhsin, Firman tetap yakin bahwa dirinya tidak masuk dalam target Densus 88. Pada Selasa, 4 September 2012, ia berangkat dari Bandung dengan niat hendak ke Sukabumi untuk sebuah janji bertemu rekannya. Baru keluar dari kediaman ibunya di Bandung, di gang ia melihat orang yang tiba-tiba mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. Ia tidak ambil pusing dengan kejadian itu.

Sesampainya di terminal Leuwi Panjang, Bandung, alih-alih naik bus jurusan Sukabumi, ia malah naik bus MGI jurusan Depok. Di bus itu, ia bertemu dengan seorang bertubuh besar yang mencurigakan. Tapi, ia mengabaikan kecurigaannya itu.  “Kalau saya ke Sukabumi, teman saya yang tidak tahu apa-apa bisa kena juga. Satu Ngruki kebawa semua,” ujar Firman. Akhirnya, ia pun memutuskan mengunjungi bibinya di Depok. Tiba di kediaman sang bibi di Cilodong magrib. Firman sempat menonton berita tentang Farhan dan sempat berteleponan dengan seorang teman dan mengajaknya bertemu di stasiun Depok tapi urung.

Sebelum beranjak tidur, Firman mendenger suara mobil besar yang ia yakini kendaraan barakuda. “Saya lihat ke jendela tidak ada,” cerita Firman. Dalam tidurnya, kendaraan barakuda itu terlihat dalam mimpi.

Subuh 5 September 2012 pun tiba. Setelah bangun, Firman mendengar suara yang diarahkan ke rumah di depan, bukan ke arah rumah bibinya. “Diharapkan keluar! Di dalam ada anak kecil dan ibu-ibu. Saya harapkan keluar!” Mendengar suara itu, Firman melihat keluar melalui jendela. “Tak ada sedikit pun keinginan lari.” Ia pun bertanya kepada sang bibi, lalu dijawab, “Itu ada penggerebekan, anaknya si pak anu ada kasus narkoba.” Firman pun tenang, lalu shalat subuh.

Setelah shalat, Firman kembali melihat suasana di luar melalui jendela. Tampak jelas, petugas yang ia lihat memakai seragam dengan logo Densus 88. “Saya ngeh-nya di lengan kiri ada tulisan 88,” ujar Firman. Sejak itu, ia mulai curiga dirinya yang menjadi target. “Wah, saya ini.” Tapi, dalam hati ia bertanya, “Kok gak ngarah ke sini? Wah, ada teroris di rumah seberang.” Ia pun bilang ke bibinya, “Bi, teroris.” Bibinya jawab, “Iya, di situ suka kumpul orang-orang.”

Hingga pukul setengah tujuh, tidak ada tindakan ke rumah seberang. Firman pun mulai sadar bahwa dirinya yang menjadi target. Sejak saat itulah ia berpikir ingin lari, tapi tak ada jalan keluar. Pikiran lari pun berganti ingin melakukan perlawanan. “Saya ingin ada yang mati dari Densus,” ujar Firman. Saat sang paman keluar rumah dengan membawa anak kecil, ditanya dengan todongan senjata. “Kamu Firman ya?” Pamannya menjawab, “Bukan.” Melihat itu, adik sepupu Firman yang hendak sekolah menangis. Sejak itulah sang bibi tahu, bahwa Firman-lah yang sedang ditunggu. Bibinya pun gemetar. “Firman, ada apa?” tanya sang bibi dengan ekspresi takut. Firman langsung berpikir, “Kalau saya ditembak mati, bibi saya bisa jadi stres. Atau, bibi saya kena penyakit.” Akhirnya, ia pun menyerahkan diri.

Mengajar Mengaji dan Menikah di Penjara

Setelah penangkapan itu, selama lima hari, Firman tak tahu lokasi dirinya. “Begitu ditangkap tangan diborgol, mata ditutup,” ujar Firman. Setelah lima hari, ia dibawa ke Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.

Setelah Firman divonis 8 tahun penjara, ia pun menjalani masa penahanannya di Lapas Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Sempat ditawarkan ke Sentul tapi tidak jadi.

Di Lapas Cibinong, Firman berjumpa dengan terpidana dari kasus-kasus non-terorisme. Ia merasa lebih baik berada di Lapas Cibinong yang berbaur dengan para narapidana lain. Jika di Lapas Sentul ia hanya bertemu para narapidana teroris. “Justru yang mengubah saya ketika bertemu dengan orang-orang umum, napi umum.” Firman menyadari, bahwa masyarakat tidak seperti yang ia pikirkan. “Masyarakat kita masih awam tentang agama, sementara kita mengkafirkan orang. Ketika orang setuju demokrasi, kita tidak shalat di belakang dia karena kafir,” ujar Firman menjelaskan keyakinannya dahulu.

Di lapas, Firman melihat napi umum banyak yang ibadah, banyak pula yang belajar mengaji. “Kalau saya seperti dulu, orang-orang itu saya jauhi, mereka tidak akan mau mengaji ke saya,” ujar Firman. “Takfir itu salah, petugas lapas baik-baik, shalat dan ngaji di lapas tidak dilarang, bahkan didukung. Kalau kita mudah mengkafirkan, umat akan menjauh dari kita. Orang awam yang dekat akan lari, mereka tidak nyaman.”

Ia bercerita, ketika masuk di Lapas Cibinong, ada sekira 20 orang napiter, dan para ikhwan di lapas itu tidak ada yang pikirannya keras. Semuanya tidak tertarik dengan pendirian daulah Islam. Selain aktivitas rutin dan mengajar mengaji, Firman juga membaca buku-buku yang disediakan oleh BNPT. “Ketika kita melakukan aksi, kita malah merugikan umat Islam sendiri,” ujar Firman.

Setelah tiga tahun menjalani vonis, Firman melangsungkan akad nikah di lapas pada 2015, sebelum dipenjara ia sudah meminang sang calon istri yang juga alumni Ngruki satu angkatan. “Ada resepsi kecil-kecilan, tapi gak boleh keluar, gak ada malam pertama, sedih juga. Istri langsung pulang,” tutur Firman.

Dari Cibinong Mendapat Gelar “LC”

“Saya dulu bercita-cita ingin belajar di Makkah atau Madinah untuk mendapat gelar Lc. Tapi, mengapa dapat gelar LC-nya di Cibinong, Lulusan Cibinong,” ujar Firman sembari tertawah.

Lulus dari Cibibong pada Oktober 2017, ia memilih tinggal di Depok, di kediaman sang bibi, tempat Firman ditangkap. Di fase itu, Firman mengandalkan uang tabungan hasil ‘usaha’nya di lapas. Pada awal 2018, ada peluang mengajar di sekolah dasar di Pesantren Hidayatullah, Cilodong, Depok, Jawa Barat. Firman ingin mengajar, tapi ijazahnya masih di Ngruki, maka istrinya yang mengambil peluang itu.

Setelah satu bulan menumpang di rumah sang bibi, Firman pun mendapat kontrakan. Selama tiga bulan di rumah kontrakan, ia bersama keluarga sesekali tetap pulang ke Garut dan Cilegon, tempat orang tua sang istri.

Pada 8 Mei 2018, terjadi kerusuhan Mako Brimob. Dalam peristiwa itu, pihak Brimob menyampaikan lima orang anggota Brimob dan satu orang terpidana terorisme tawas. Sehari setelah peristiwa itu, Agus Farel, mantan terpidana terorisme yang merupakan lulusan Pesantren Hidayatullah, mengajak Firman ke Kelapa Dua. Tapi, Firman tidak bisa. Agus Farel pun akhirnya berangkat bersama Andri Pamungkas. Tujuan awalnya mencari kulakan celana di lokasi dekat dengan Mako Brimob untuk memenuhi pesandan dari Medan, Sumatra Utara.

Setelah mencari celana, Agus Farel tidak langsung pulang. Ia berinisiatif mampir ke tempat singgah ummahat (para istri) yang suaminya ditahan di Mako Brimob. “Dri, kita ke tempat singgah ummahat, saya belum tahu,” ujar Firman menirut Farel. Di rumah singgah itu Agus Farel ditangkap. Selama satu pekan ia ditahan untuk diintrogasi di Mako Brimob. “Padahal, Farel dekat dengan Densus dan BNPT, tapi yang nangkep Brimob,” ujar Firman. “Sebelum dipindahin ke Polda, ia ‘digulung’ di tengah lapangan sampe gak bisa bangun,” kisah Firman. Kejadian itu menjelang bulan Ramadhan. Akhirnya, setelah mendapat bantuan lobi dari para ikhwan, bahwa Farel ke situ tidak ada maksud apa-apa, Farel pun dilepas.

Beberapa hari kemudian ada intel, yang Firman duga intel Brimob ke sekolahan istri. Sang intel bertemu dengan ketua yayasan dan menyampaikan, bahwa di Hidayatullah ada istri dari Firman yang merupakan mantan napiter. Kedatangan intel itu membuat ketua yayasan tidak ingin mengambil risiko. Setelah ketua yayasan berbicara dengan sang istri, sang istri pun berhenti mengajar.

Firman sempat marah dengan kondisi itu. “Saya yang ada masalah, kok dikaitkan dengan istri saya.” Apalagi, setelah menjalani vonis, Firman rajin mengikuti pembinaan dan aktif di acara-acara BNPT. “Saya kesal. Bikin masalah aja. Saya sudah enak di Depok. Istri mengajar, saya juga bisa bantu ikhwan-ikhwan di dalam untuk mengantar makanan. Suka diberi sedikit upah.” Ia pun memperbanyak istigfar. “Kalau pemikiran saya belum berubah, saya bisa melakukan hal yang seperti dulu.”

Ia pun pindah ke Garut. Saat masih tinggal di Depok, anggota BIN di Garut menelepon Firman yang mengajaknya berwirausaha di Garut. “Kang, kapan ke Garut.” “Saya jawab, istri ngajar di Depok.” “Sudahlah di Garut aja usaha.”

Pada pertengahan 2018, Firman pindah ke Garut, tinggal di rumah pamannya. Baru pada 2019, ia dan keluarganya pindah ke rumah di sebuah kompleks di Limbangan Timur.

Setelah tinggal di Garut, aktivitas utama Firman adalah wirausaha. Bersama 15 mantan napiter lainnya, ia bergabung dalam Yayasan Genggam Perdamaian mengelola 50 hektare kebun kopi di Kabupaten Subang, Jawa Barat.  Dalam sebulan, ia mendapat giliran lima hari mengelola kebun. “Saya nginap selama lima hari,” ujar Firman.

Di samping aktivitas usaha, Firman juga siap membangun persaudaraan literasi dengan bergabung untuk mendirikan Rumah Daulat Buku (Rudalku) di kediamannya. Ia memang selama ini tidak membuka statusnya yang pernah menjadi narapidana kepada tetangga di kompleksnya, tapi tetap bermasyarakat dengan baik dan ingin menjadi warga negara yang  tidak berpolah neko-neko.

Kini, Firman yang telah dikaruniai tiga anak laki-laki juga sedang menyiapkan usaha kebun kapulaga di wilayah Garut. “Ada tanah milik orang yang tidak terpakai. Rencananya akan saya tanam kapulaga.”

Siap berjuang melalui persaudaraan literasi

Ia pun berkomitmen untuk terus menebar citra baik agama Islam dengan tidak terlibat dalam tindakan teror. “Saat di lapas, saya sudah berpikir bahwa teror itu merugikan Islam.” Selain itu, ia pun giat melakukan aktivitas menangkal gerakan kekerasan. “Saat melihat orang berpotensi jadi radikal, saya nasihati. Bujangan pun jangan, apalagi sudah punya anak-istri. Di dalam penjara itu sangat berat, Kalau tertangkap berjejaring berarti tidak hanya satu orang, tapi bisa merembet ke mana-mana. Sudahlah kita damai saja hidup tenang bersama keluarga dan berupaya semampunya untuk bermanfaat bagi sesama,” tutur Fiman memungkasi. []