Mutan-Mutan Radikal

Soffa Ihsan

Aksi teror tampaknya masih berbiak. Aksi sadis dari Mujahidin Inodonesia Timur (MIT) di Poso barusan berselang menunjukkan masih bertajinya MIT dan juga sel-sel radikal lainnya. Kelompok ini memang masih memiliki jejaring yang cukup kuat yang dulu berjejaring dengan kelompok Abu Roban dan Abu Umar serta kini dengan kelompok yang berafiliasi dengan ISIS. Disamping juga dukungan masyarakat sekitar. Pemimpin MIT Ali Kalora melanjutkan kepemimpinan Santoso yang berhasil dibunuh dalam baku tembak pada 18 Juli 2016 dan Basri yang tertangkap beberapa bulan kemudian bersama istrinya. Ali Kalora mulai menebar teror sejak 2011 dan merupakan salah satu orang kepercayaan Santoso. Saat masih dipimpin Santoso, Ali Kalora adalah penunjuk jalan. Hal ini membuat dia paham betul medan pegunungan. Kendati sebenarnya ada tokoh MIT yang lebih ‘berisi’ yaitu Qatar asal Bima. Ya kekisruhan seolah tak pernah berhenti di Poso sejak terpantik konflik pada 1998. Poso ibarat magnet bagi kelompok garis keras.

Poso mungkin sebuah ‘percontahan’ dari sebuah transformasi dari wajah-wajah innosen ke jihadis. Kebetulan selama rentang 2012 hingga 2017 saya sudah 6 kali datang ke Poso. Cukup banyak eks kombatan yang saya temui dan lalu berteman. Saya merasakan ada bercak-bercak dari nyinyir kepedihan yang terus menumbuk jiwa. Dari situ ‘benih-benih’ tumbuh subur di ladang persemaian terlebih akibat siraman pupuk situasi yang mencekami. Ya selaksa ‘api dalam sekam’  yang tiba-tiba menyala-nyala.

Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah radikalisme terus bermutasi. Ibarat virus corona yang dalam penelitian ilmuwan terus melahirkan mutan-mutan baru yang lebih berbahaya dari induknya. Paham radikal tampaknya mengalami proses serupa. Ia bermetamorfosa yang seringkali juga mutan yang diproduksi lebih keras seiring dengan situasi yang melingkupinya. Sepanjang ini belum ada vaksiniasi yang ampuh untuk menangkalnya.

Jalinan yang Terus Bersemi

Sejauhmana kelompok-kelompok ekstrimis Indonesia telah menyebar dan mengatur posisi kembalii. Mereka saling melindungi, saling berbagi kontak dan ketrampilan, menikah antar kelompok dan berlatih bersama. Solidaritas ini terbangun lebih karena kebutuhan dan situasi sulit yang melanda mereka. Mencairnya batasan-batasan geografis dan organisasi memang pertanda bahwa mereka telah melemah, tapi ia juga menciptakan peluang baru untuk membentuk sel-sel baru. Ini bisa berbahaya, apalagi ketika keinginan untuk membalas dendam bertambah. Karena itu patut untuk melihat lebih dekat soal bagaimana kelompok garis keras ini berinteraksi. Perkembangan ‘mutan-mutan’ radikal memperlihatkan kemungkinan paling sedikit ada lima peluang yaitu  pelarian, penjara dan kunjungan penjara, training, forum internet dan perkawinan.

Belakangan kita menyaksikan ada keberhasilan besar dalam membongkar jaringan kelompok ekstrimis.  Namun ancaman kekerasan dari kelompok ekstrimis di Indonesia belum lewat. Satu per satu, buron-buron wahid dalam DPO polisi berhasil dikejar, ditangkap, diadili dan dipenjara. Sejauh ini kerja polisi bagus, tapi mereka juga mujur. Selama ini para calon teroris ‘ceroboh’ lantaran tidak begitu terlatih dengan baik, kurang disiplin dan ceroboh. Aksi serangan besar  memang tidak lagi terjadi.

Meski demikian, ini memperlihatkan bahwa walaupun begitu banyak serangan terhadap mereka, kelompok ekstrimis masih mampu membentuk kelompok baru dibawah tekanan dan merencanakan aksi amaliyah baru, seringkali dengan bantuan dari rekan-rekan di penjara. Seorang pemimpin yang sangat terampil dan punya kesabaran lebih dibanding yang sejauh ini diperlihatkan kelompok jihad mungkin masih akan mampu untuk mengumpulkan orang-orang dan membentuk kelompok untuk melancarkan aksi amaliyah tanpa dideteksi oleh aparat. Yang sudah pasti, tekad mereka untuk mencoba masih belum luntur.

Dalam berbagai tilikan, juga memperlihatkan bagaimana situasi sulit saat ini telah menggalang kelompok-kelompok ekstrimis saling kontak satu sama lain, dengan cara mengurangi sejumlah kemajuan yang dibuat polisi dalam membongkar sel-sel individu. Jamaah Islamiyah (JI) menjadi contoh yang sangat menarik. Ia mungkin dipandang telah ‘mati suri’, tapi tokohnya Abu Rusdan, masih dihormati secara luas dan taklimnya menarik banyak pengikut termasuk orang-orang yang lebih militan. Jaringan alumni dari sekitar 50 pesantren JI terus memegang peran penting, dan sekolah-sekolah JI masih menjadi tempat untuk regenerasi. Bukan suatu kebetulan bahwa Abu Umar menyekolahkan anak-anaknya di pesantren JI, begitu juga dengan Abdullah Sunata, ketua KOMPAK yang saat ini sudah bebas dari penjara. Bahkan meskipun JI telah menarik diri dari aksi kekerasan, banyak dari sekolah-sekolahnya masih dianggap oleh kelompok-kelompok militan pada umumnya sebagai tempat dimana semangat jihad bisa ditanamkan.

Transformasi Jihadis

Masih ingat nama Joko Jihad? Sosok yang nama aslinya Joko Tri Priyanto, namanya sangat terkenal di kalangan aktivis radikal. Dia adalah kordinator pengajian di Mesjid Muhajirin, Purwosari, Solo. Pengajian ini sangat terkenal karena rutin menghadirkan ustadz-ustadz yang sering terkait dengan kasus terorisme. Cerita kala itu, sebagian ustadz-ustadz yang pernah mengisi di pengajian ini sudah tak pernah lagi mengisi. Ada beragam alasan, ada yang sudah tewas terbunuh polisi seperti Bagus Budi Pranowo alias Urwah karena terlibat kasus bom Mariot dan Ritz Carlton pada 2009. Ada lagi seperti Lutfi Haidaroh alias Ubeid dan Ustadz Musthopa alias Abu Tholut karena terlibat kasus Aceh yang kini sudah bebas. Selain itu ada juga Mus’ab Abdul Ghafar alias Darwo karena terlibat dengan kelompok Ightiyalat Klaten.

Kisah Joko Jihad adalah kisah seorang aktivis gerakan radikal lokal yang menyebrang jadi aktivis gerakan jihadis. Mulanya dia adalah aktivis Laskar Jundullah. Ketika konϐlik Ambon meledak, beberapa laskar di Solo seperti Laskar Jundullah, MMI, Laskar Santri, Front Pemuda Islam Surakarta mengirimkan anggotanya ke Ambon untuk berjihad membela umat Islam disana. Joko salah satu yang berangkat ke Ambon pada sekitar tahun 1999/2000. Di Ambon dia punya pos di Kebun Cengkeh. Saat itu Pos Kebun Cengkeh merupakan pos milik orang-orang JI. Sementara itu, anggota laskar lainnya ada yang bergabung dengan Pos Air Kuning milik Mujahidin KOMPAK. Saat di Ambon dia berkawan akrab dengan Ali Zein alias Allen. Alen ini punya ‘darah biru’ di kalangan jihadis. Ayahnya Zainuri pernah ditangkap dalam kasus Komando Jihad pada tahun 1970an. Kakaknya bernama Fatturahman Al Ghozi, orang Indonesia yang aktif berjihad di Mindanao yang kemudian tewas ditembak tentara Filipina. Keduanya pun menjadi akrab. Keduanya terlibat peperangan-peperangan melawan orang-orang Kristen. Tak hanya itu, di Ambon juga dia aktif berdiskusi dengan Allen yang lulusan Ngruki yang juga punya keagamaan lebih baik dengan dia. Joko juga berkenalan dan belajar agama kepada ustadz-ustadz JI dan KOMPAK. Pengajian ini lantas menjadi tempat meradikalisasi kelompok-kelompok radikal di Solo. Seperti yang terjadi pada Sigit Qardhawi dan teman-teman di Laskar Hisbah yang berubah menjadi aktivis radikal jihadis setelah rutin hadir di pengajian ini.

Relasi organisasi-organisasi radikal dengan organisasi yang masuk dalam kategori jihadis terlihat dari beberapa indikasi, yaitu kesamaan agenda dan perjuangan, meski berbeda metode seperti mentoring kader dan sumber-sumber rekruitmen kader termasuk pelibatan ustadz-ustadz yang diidentifikasi misalnya sebagai tokoh Jamaah Islamiyah (JI) dan tokoh Jamaah Anshoru Tauhid (JAT) dalam berbagai aktivitas, persinggungan individu-individu, yang disatu sisi merupakan tokoh organisasi Islam radikal tapi juga bersinggungan dengan tokoh-tokoh JI atau JAT. Relasi lain yang lebih soft adalah dalam bentuk simpati atau afirmasi atas tindakan-tindakan yang dilakukan kelompok jihadis. Memang tidak ada rumusan saklek bahwa  proses transformasi institusional organisasi Islam radikal bisa menjadi organisasi teroris. Namun, beberapa individu-individu yang sebelumnya menjadi bagian dari organisasi radikal pada tahapan berikutnya menjadi teroris.

Transformasi institusional misalnya terlihat dari bergabungnya kelompok ightiyalaat ke Laskar Hisbah. Kelompok ightiyalat yang terdiri dari 10 orang pimpinan Roki Apris Dianto alias Atok, memang tidak mendeklarasikan dirinya sebagai laskar atau organisasi sebagaimana yang lainnya. Kelompok ini adalah kumpulan anak Rohis murid dari Ustadz Darwo alias Ustadz Mus’ab Abdul Ghafar alumni LIPIA. Darwo mengajarkan sunnah ightiyalat dalam berjihad, yang berarti aksi pembunuhan dengan metode diam-diam. Kelompok ini juga bertransformasi dengan menggabungkan diri ke Laskar Hisbah pimpinan Siqit Qardhawi, si preman tobat. Selain transformasi institusional, beberapa orang juga mengalami tranformasi individual. Sekalipun hampir dipastikan transformasi individual ini dialami oleh banyak aktor teroris, seperti kasus transformasi Joko Jihad.

Membingkai Cara Pandang

Bila mengikuti teoritisasi dari Charles Kurzman dalam Social Movement Theory and Islamic Studies  (2003) bahwa gerakan Islam radikal di Indonesia pada dasarnya adalah aktivitas kolektif yang bertujuan mengubah struktur sosial dan tatanan nilai di masyarakat. Karena itu, gerakan Islam radikal adalah gerakan yang rasional, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasio dalam menyusun gerakan. Dalam rational action theory, pelaku gerakan adalah individu yang rasional. Dalam banyak kasus, mereka juga mendapatkan keuntungan pragmatis selain kepuasaan ideologis yang diyakininya. Teori ini berseberangan dengan collective behaviour theory yang memandang bahwa pelaku gerakan sosial tidak sepenuhnya menyadari kekuatan-kekuatan luar yang mengatur kehidupan mereka. Teori ini melihat para pelaku gerakan sosial sebagai individu-individu emosional yang bereaksi terhadap situasi yang berada di luar kontrol mereka. Collective behaviour theory jika dikaitkan dalam konteks gerakan Islam radikal, memperlihatkan bahwa para aktivis Islam adalah kelompok irrational dan hanya mencari kesyahidan. Aktivisme yang mereka lakukan merupakan hasil dari keretakan sosial dan/atau akibat pengalaman-pengalaman akan kesengsaraan, ketertindasan, dan penderitaan yang terjadi baik di level individu maupun kelompok.

Kasus FPI yang terus memuntahkan berita-berita tragis bisa menjadi contoh bagaimana aktivisme berkelindan dengan situasi sosial sebagai hasil persepsi yang mereka bangun. Tetapi ini juga akibat dari keterjunan ke dalam wilayah politik yang membuat agama dijadikan alat untuk mencapai tujuan politis. Kerawanan ini mengakibatkan pula ‘ketidaksadaran’  atau bahkan ‘ketidakwarasan’  dalam menilai situasi kekinian.  Dikalangan akar rumput FPI akan mudah memahami secara jalan pintas dan berpotensi untuk tergeret pada bujuk rayu militansi yang lebih ekstrim hingga masuk ke ranah teror. Bukti-bukti ini sudah dibeberkan dan mereka yang terlibat dalam jaringan dan aksi teror sebagian besar sudah tervonis secara inkrah.   

Thomas Olesen dalam Social Movement Theory and Islamic Radical Activism (2009) sebaliknya melalui kaca mata rational action theory melihat para aktivis gerakan Islam radikal sebagai aktor-aktor rasional yang berusaha menggapai tujuan-tujuan tertentu melalui kalkulasi untung-rugi  yang matang. Aktivisme mereka dipandang sebagai sebuah aspek politik yang normal di dalam demokrasi modern, dan bukan sebuah tanda akan ketidakteraturan dan ketidakseimbangan sosial. Karenanya, perspektif subjek menjadi topik analisis, contoh bagaimana respon para aktivis Islam terhadap perubahan dalam sosio-politik, apa pandangan mereka tentang problem sosial yang ada di masyarakat, dan bagaimana mereka memanfaatkan kesempatan politik untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.

Meminjam lagi analisis Jurgen Gerhards dan Dieter Rucht (1992), dalam level organisasi, kelompok radikal dapat dilihat dari tiga pola, yaitu (1) cara penyampaian dan pembingkaian gagasan kepada masyarakat (framing), (2) mobilisasi sumber gerakan (mobilizing), (3) dan juga taktik dan strategi (making decision). Framing, dikaji melalui doktrin puritan radikal sebagai master frame beserta gagasan-gagasan pendukung lainnya. Framing di dalam literatur biasanya dilihat sebagai sebuah aktivitas verbal. Dengan kata lain, analisis frame adalah analisis tentang teks dan pidato-pidato (speeches). Namun, komunikasi dan framing juga memiliki dimensi simbolis. Pandangan ini secara khusus penting di dalam perspektif global, sebab simbol berjalan melampaui batas-batas ruang sosial, kultural dan politik. Simbol juga memadatkan makna dan identitas dan tidak otomatis tergantung pada penjelasan verbal. Simbol-simbol global tentang ketidakadilan merupakan bagian dari master frame Islam radikal dengan fokus pada konflik yang tidak dapat didamaikan misalnya antara Barat dan dunia Islam. Kerangka pemikiran dalam master frame ini menekankan pada eksistensi komunitas Muslim global (ummah) yang memiliki tanggungjawab untuk melawan ketidakadilan terhadap umat Islam dimanapun.

Soal master framing ini, kita jadi ingat fatwa diror yang kerap dijadikan pembenaran oleh para teroris dalam menjalankan aksinya. Fatwa diror ditulis oleh Abu Qatadah, ulama jihad asal Palestina yang tinggal di London dan tersebar luas di kalangan para teroris sekaligus dijadikan sebagai pembenaran oleh para teroris dalam menyerang aparat keamanan bahkan juga masjid yang menurut mereka masuk dalam kategori Masjid Diror. Fatwa yang diterjemahkan oleh Aman Abdurrahman ke dalam bahasa Indonesia ini membuat seseorang rela mengorbankan nyawanya dengan melakukan bom bunuh diri. Secara ajaran yang benar tentu ini menyalahi kaidah bahwa setiap perbuatan melampaui batas pasti melanggar hak orang lain (ma ra`ayta israfan illa wabijanibihi haqqun mudlayya’un).

Pada amatan lapangan, pemanfaatan jaringan non formal yang tidak kentara adalah bentuk kreativitas dari para aktivis Islam untuk menyebarkan gagasan dan agenda mereka. Sebagai contoh, jargon paling terkenal dari para Islamis yaitu “Islam adalah solusi” atau ‘NKRI Bersyariah’ menggema di seluruh level dan mempengaruhi berbagai bidang sosial dan politik serta mendorong lahirnya sebuah identitas kolektif. Identitas kolektif adalah sebuah proses yang melibatkan definisi kognitif tentang tujuan, cara, perilaku dan tindakan. Poros dari aksi kolektif ini didefinisikan dalam sebuah bahasa dan perilaku yang disebarkan di dalam komunitas gerakan serta dan dibangun dan dikembangkan secara sengaja ataupun tidak sengaja oleh tokoh gerakan, otoritas agama, intelektual, penulis, jurnalis dan sebagainya.

Terakhir pertanyaan apa sebenarnya yang menjadi visi dan misi kelompok radikal? Ternyata tidak ada jawaban tunggal dan dominan. Namun demikian, setidaknya terdapat dua jawaban utama yang relatif hampir seimbang terkait dengan pertanyaan tentang visi dan misi gerakan Islam radikal. Yaitu, Islam radikal memiliki misi memerangi kemaksiatan dan bertujuan untuk mendirikan negara berdasarkan ajaran Islam

Ideologi negara Islam terus bertahan dengan cara mengendap dibalik kecenderungan salafisme di kalangan pemeluk agama. Yaitu sebuah kecenderungan yang membayangkan masa lalu sepenuhnya suci, ideal, sempurna dan tak ada kekurangan apa pun. Pada era suci inilah negara agama diyakini pernah ada dan berdiri tegak dengan semua nilai-nilai luhur yang dipraktekkan secara paripurna.

Tak ayal, pembacaan terhadap gerakan Islam radikal sesungguhnya bukanlah sesuatu yang unik, karena memiliki elemen-elemen umum sebagaimana gerakan sosial pada umumnya, seperti struktur organisasi, identitas kolektif, mobilisasi sumber, jaringan sosial dan sebagainya. Yang spesifik dari gerakan Islam radikal adalah konteks politik dimana mereka beroperasi. Setiap gerakan sosial selalu muncul dalam konteks lokal yang spesifik, dan kondisi sosial-politik ini adalah kunci untuk memahami agenda gerakan Islam dan siasatnya. Diatas semua itu, pastinya, ekstrimisme yang melibatkan kekerasan masih menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian terus menerus.

Penulis adalah Marbot Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku)