NU dan Jimat Kebangsaan: Refleksi dan Manifestasi Cinta Ulama untuk Indonesia

Asep Najmutsakib

Keterbelakangan secara mental maupun ekonomi telah dialami bangsa Indonesia, akibat dari penjajahan maupun oleh kungkungan tradisi setempat, dimana kondisi tersebut kemudian memunculkan kesadaran kolektif para kaum terpelajar untuk memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Gerakan nasional yang sering di sebut dengan “Kebangkitan Nasional 1908′ hingga saat ini terus berkobar, menggeliat dari waktu ke waktu, dari kota hingga desa, menyebar menjadi sebuah informasi yang menggugah semangat merdeka kepada kaum pribumi hingga lapisan terbawah sekalipun. Salah satu jawaban atas respon panjang penderitaan panjang bangsa Indonesia tersebut adalah bentuk perlawan terhadap segala bentuk kolonialisme.

Tak terkecuali dengan kalangan pesantren, tetap gigih menanam serta menyemai semangat perlawanan atas kekejamanan kolonialisme. Kebangkitan nasional telah menjadi gerbang pembuka menuju kemerdekaan seutuhnya bagi bangsa Indonesia, kemudian lahirlah organisasi pergerakan seperti organisasi Nahdlatul Wathan (kebangkitan pemikiran), sebagai ruang dialektika pendidikan nasional politik dan keagamaan kaum santri. Seperti yang diterangkan dalam buku “Rintisan Peradaban Profentik Umat Manusia melalui Peristiwa Turunnya Adam AS ke Dunia”. Dari situ kemudian di dirikan organisasi bernama Nahdlatut Tujjar (pergerakan kaum saudagar), organisasi ini berfokus dan dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dinamika nasional yang terus bergerak untuk merdeka telah menggugah untuk membentuk organisasi yang lebih sistematis, mendalam serta terorganisir dalam mengantisipasi perkembangan zaman maka setelah sowan ke berbagai alim dan ulama akhirnya muncul kesepakatan untuk membuat organisasi baru bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926), dipimpin K.H Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.

Perlu digaris bawahi secara seksama, kelahiran NU (Nahdlatul Ulama) bukan semata-mata karena SI (Sarekat Islam) yang di pimpin “Sang Ratu Adil” H.O.S Tjokroaminoto tidak mampu menampung gagasan keagamaan para ulama tradisional ataupun sebagai respon dari penetreasi “Islam Modernis” yang gaungkan dengan purifikasi islam oleh K.H Ahmad Dahlan. Tidaklah sederhana menyimpulkan perjalanan embrio kelahiran NU, justru Argumentatif yang demikian telah mereduksi fakta-fakta historis atas dinamika ke-ulama-an yang mengintegrasi kelahiran yang kelak menjadi kekuatan dalam memperjuangkan kemerdekaan segala romantika dinamika nasional, bernama Nahdlatul Ulama (NU). Manfred Ziemek mengatakan bahwa kehadiran NU mewakili faham konservatif para ulama, namun juga sekaligus mewakili tradisi perlawanan ratusan tahun terhadap kolonialisme belanda, dengan sikap mandiri, bebas dan tersentralisi pada masyarakat pinggiran atau pedesaan serta para kiai-nya adalah orang-orang yang tidak diperintah siapapun.

Pun Latihiful Khuluq mendeskripsikan kerasnya politik Kolinial Belanda dan semakin suramnya kondisi politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan menyebabkan kebangkitan di nusantara. Dengan NU warga pribumi mengubah cara perjuangan dari strategi militer ke perlawanan damai dan terorganisir. Sejatinya NU berdiri untuk memotivasi dalam membangun semangat nasionalisme untuk kemerdekaan serta menyatukan para ulama atau kiai pesantren dalam pengabdian serta peran untuk meningkatkan kepekaan masalah sosial, ekonomi, pendidikan, politik dan urusan kemasyrakatan pada umumnya, sebuah peran yang lebih luas diluar aktivitas pengabdiannya terhadap pesantren. Dalam bayak litelatur Historical NU telah banyak memberikan kontribusi nyata untuk kemaslahatan bangsa dan negara baik pada masa sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan.

Dinamika Kini…

Tak terasa, NU sudah akan menuju usia 2 Abad. Sebuah perjalanan panjang organisasi dengan dinamika, romantika serta dilaektika bangsa dan agama. saat tulisan ini dibuat, NU sedang menjalankan musyawarah besar, musyawarah tertinggi dalam organisasi, Muktamar ke 34. Bertempat di Provinsi Lampung, muktamar dalam keadaan Pandemic tidak mengurangi ke-khidmat-an para jama’ah NU untuk turut serta hadir menyemarakan agenda dengan penuh riang dan gembira. Tentu, dalam Muktamarpun akan memilih Ketua Umum untuk mengarungi organisasi 5 tahun kedepan.

Muktamar ke 34 telah resmi di buka oleh Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo. Riuh sedang menyambut perhelatan terbesar Nahdlatul Ulama. Dari setiap perhelatan akan terasa berbeda suasananya. semakin ke depan, tantangan akan semakin lebih kompleks. Dulu, tantangan terbesar NU adalah Kolonialisme Belanda, sekarang tentu berbeda. Bagaimana tantangan hari ini bukan hanya bicara faktor Intern namun juga faktor ekstern yang berpotensi melemahkan organisasi bernama Nahdlatul Ulama. Bagi anak-anak muda, generasi 90’an atau 2000’an akan berbeda cara pandang dan berorganisasi atau dalam bermasyarakat. Sebut bagaimana “Generasi Milenial” sangat gandrung terhadap hasil cipta dari teknologi. Teknologi informasi dan komunikasi telah banyak merubah cara hidup sebagian umat manusia, tak terkecuali bangsa indonesia.

Salah satu nilai yang di pegang oleh NU adalah mempertahankan nilai yang lama yang masih baik dan menerima nilai baru yang lebih baik, “al mukhafadhutu wal akhdu bil jadidi wal aslah”. karena selalu berakar pada nilai-nilai tradisi masyarakat hal ini pula yang sering menyebabkan NU di sebut sebagai organisasi tradisional. Sudah sedari dari idiom ini telah melekat kepada warga NU, artinya dalam situasi keadaan apapun di yakini akan mampu beradaptasi dengan pergerakan dinamika global yang berimplikasi kepada dinamika nasional dan lokal. Dan karena itu, ruang ekspresi bagi anak-anak muda NU dalam mengekspresikan segala aplikasi yang dihasilkan oleh teknologi komunikasi dan informasi menjadi sebuah hal yang penting.

Gegap gempita muktamar NU kali ini banyak dihadiri oleh Tokoh-tokoh alim ulama dan termasyhur se-antero nusantara, ramai pula oleh para pembesar republik indonesia mulai dari menteri atau wakil menteri, para kepala daerah serta para stake holder lainnya. Begitu juga dengan banyak mobil-mobil mewah nomor wahid terparkir diberbagai lokasi kegiatan denganmobil patwal tak kalah kelas, hotel dari bintang lima hingga kelas melati terisi penuh, lonjakan kehadiran para muktamirin telah menggairahkan ekonomi kecil disekitaran arena muktamar. Bagi penulis ini merupakan kesempatan pertama merasakan atmosfer muktamar, dan begitu “Wah” tak seperti apa yang digambarkan atau di ceritakan dalam sejarah. Selain ucapan karangan bunga yang tersebar hampir di setiap sudut arena muktamar. Potret muktamar ke-2 (1927) menggambarkan bagaimana para muktamirin mengagendakan dana secara nasional untuk mendirikan serta membangun madrasah dan sekolah. Dalam perspektif pendidikan NU merupakan lokomotif pembaharuan dalam bidang pendidikan. Semangat gotong royong dan kemandirian di tonjolkan menjadi nilai dasar yang harus di tonjolkan. Ya, mungkin masa telah berganti. Pada akhrinya, NU tetaplah akan lebih besar dari setiap orang yang ada didalamnya. Wallahu a’lam