Nasihat Membawa Selamat: Hasil Reportase Tim Rudalku

Peristiwa kerusuhan membawa seorang pemuda memutuskan untuk menjadi pembela agama. Membekali kemampuan diri, ia berlatih di Kashmir, Pakistan, kemudian balik ke Indonesia mengajar pembuatan bom dan terlibat dalam kasus kepemilikan sejata api. Namun, ia tidak berbaiat kepada kelompok manapun.

Di ruang tamu rumah selayak rumah petak yang berkonsep townhouse itu pertemuan berawal. Sebuah almari, meja cermin, kulkas, standing banner, meja buku, kompor gas, dan kipas angin tertata apik. Di sisi jalan utama yang tak jauh dari situ, berhadapan dengan toko-toko perumahan, berdiri berjajar masjid raya Al-Azhar, sekolah Al-Azhar, dan sekolah Santo Leo. Matahari yang siang itu begitu berasa terik. Yah sekitar tiga puluh empat derajat celsius.

Walid ingin fokus keluarga dan ini menjadi jalan keluar dari jaringan terorisme

Walid, sang tuan rumah, bersama istri dan anak-anaknya baru dua bulan menghuni rumah itu. “Saya dan keluarga sementara menempati rumah milik kakak ipar,” ujar Walid. Kepindahannya ke rumah itu selain rumahnya di Jonggol, Jawa Barat, sedang dalam proses pembangunan juga agar lebih dekat dengan lokasi proyek. Ia baru bekerja sebagai pengawas sebuah proyek pembuatan jalan, drainase, dan pagar kompleks di kawasan Jababeka, Cikarang, Jawa Barat.

Perbincangan pembuka sekaligus silaturahmi di masa pandemi itu ditaburi canda, salah satunya tentang pengajian rutin yang biasanya digelar secara tatap muka di Pasar Minggu. “Kita tidak bertemu setelah pengajian tatap muka, ya bang. Pengajiannya zoom di dunia maya,” spontan lempar kata  Walid.  “Iya, zoom di dunia maya, jadi gak ketemu Luna Maya, he he,”  tambah Walid seraya  tertawa. Selain ihwal pengajian, ia pun menyampaikan bahwa di hunian sementaranya yang kecil itu hanya bisa menampung sebagian buku, sementara sebagian lainnya ditinggal di Jonggol.        

Gagal SMA karena Kerusuhan

Walid lahir di Ketapang, Seram Barat, Maluku, pada 5 Juli 1982 dengan nama asli Sutarno Nuhuyanan. Nama ‘Sutarno’ diambil dari tradisi nenek dari ayahnya yang berasal dari tanah Jawa. Sementara ‘Nuhuyanan’ diambil dari fam ayahnya keluarga Nuhuyanan yang berasal dari suku Kei.

Ia menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Ketapang pada 1989 hingga 1995. Pendidikan sekolah menengah pertama ia tempuh di Madrasah Tsanawiyah al-Ikhlas, Ketapang, pada 1995 hingga 1998. Selain sekolah, ia pun mengaji setiap bakda magrib kepada guru yang masih kerabat. “Mengaji karena perintah orang tua,” ujar Walid.

Setamat madrasah tsanawiyah, ia ingin melanjutkan sekolah di kota Ambon. Sekolah di kampung, Walid merasa tidak berkembang. “Secara akademik mampu tapi sulit berkembang, karena orang yang berprestasi pasti punya hubungan kerabat dengan guru,” keluh Walid. Keinginan dia bersekolah di Ambon tidak disetujui oleh sang ayah karena kondisi ekonomi. Sang ayah pun tak memaksakan ia bersekolah di Ketapang. “Abi bilang, ya tidak apa-apa kamu tidak sekolah tahun ini, biar kakakmu yang sekolah.”

Satu tahun kemudian, saat hendak melanjutkan sekolah di kota Ambon pada 1999, pecah  kerusuhan yang memakan banyak korban. Rencana itu pun gagal.

Bergabung dengan Kelompok Mujahidin

Saat konflik Ambon terjadi pada 1999 usia Walid baru 17 tahun. Meski masih muda dan shalatnya masihbolong-bolong, tapi gairah membela agamanya memuncak tinggi. Gairah itulah yang membawa ia bersama para pemuda di kampungnya terlibat konflik yang dalam pikiran mereka adalah untuk membela agama. Disamping itu, darah muda kemarahannya bergejolak saat konflik, tidak sedikit keluarganya yang jadi korban pembantaian.

Walid tahu sejumlah kelompok dari luar daerah dan luar negeri datang ke Maluku. Laskar Jihad pimpinan Ja’far Umar Thalib serta tokoh Al-Qaeda seperti Ayman Al-Zawahiri dan Abdul Wahid tokoh Al-Qaedah di Bosnia juga sempat hadir di tanah kelahirannya untuk memberikan semangat jihad. Pelatihan perang pun dibuka. Ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Hampir semua pemuda di kampungnya mengikuti pelatihan. “Tak ada yang mengajak saya,” ujar Walid. “Kerusuhan memaksa saya untuk bisa berjihad mempertahankan diri. Jika non-muslim menyerang, kita membela diri.”

Gairah jihad Walid semakin berkobar. Pada 2000, ia bergabung dengan kelompok mujahidin di Seram Ambon pimpinan Abdul Haris. Ia lalu terpilih mengikuti latihan militer (tadrib asykary) lanjutan di sebuah gunung yang ia sebut Gunung Waisana di Pulau Hitu Ambon, dengan peserta sekira 30 orang dari berbagai daerah di Maluku. Sekira satu bulan di Gunung Waisana ia ditempa fisik dan belajar agama dari Syekh Jaenuddin, Kifli, dan Hamzah.

Dalam sebuah momen, saat konflik meluas hingga ke Seram bagian Barat kota Ambon, ia pun melawan kelompok Kristen dengan senjata, berhadapan dari jarak dekat. “Mati atau tidak saya tidak tahu,” ujar Walid. “Kalau pun ada yang mati, saya tidak menyesal, karena kita diserang. Kalau tiba-tiba saya menyerang orang, saya menyesal.”

Mujahid Ambon Berlatih di Kashmir

Kecerdasan dan ketangkasannya membuat Syekh Jaenuddin memilih Walid bersama enam orang lainnya untuk mengikuti pelatihan di Kashmir, Pakistan. Terhitung ada 7 anak muda Ambon yang terpilih berangkat ke Kashmir. Sebelum berangkat, Walid diberi nasihat oleh seorang syaikh dari Mesir. “Kalau nanti ada kelompok yang merekrut kalian dan meminta kalian berbaiat, jangan ikuti.” Walid tahu bahwa baiat ada dalam syariat Islam. Tapi harus tepat waktu. Ia melihat, kelompok yang berbaiat berujung guluw, mengagungkan pemimpin secara berlebihan. Dari situ bisa mengkafirkan. “Saya tidak berbaiat kepada siapa pun, hanya tadrib askari, latihan kemiliteran,” kata Walid.

Sepekan mengurus paspor di Jakarta, ia dan kawan-kawan langsung berangkat ke Pakistan melalui jalur laut. “Saya masuk ke Kashmir secara legal,” ujar Walid. Sesampai di Pakistan, ia dan kawan-kawan diantar menuju Muzaffarabad, ke sebuah camp bernama Baitul Mujahidin. Lalu, bersama mujahid lainnya dari Pakistan, ia dibawa ke sebuah pegunungan. Di pegunungan itulah ia mengikuti latihan selama lebih-kurang setahunan. “Saat peristiwa World Trade Center, 11 September 2001 saya ada di Kashmir. Saya bertemu dengan CIA,” kata Walid.

Bergabung dengan kelompok mujahidin, bahkan kepergiaannya ke Pakistan mendapat restu dari sang ayah, Hasan Nuhuyanan, seorang purnawirawan TNI yang pernah bertugas di Kodam 3 Siliwangi, Jawa Barat. “Semua itu saya lakukan untuk kelak kembali ke Indonesia dapat melatih pemuda-pemuda Ambon,” kata Walid.

Materi latihan di Kashmir terpola rapi. “Di situ kami diajarkan disiplin militer, menggunakan senjata, menyerang dan bertahan,” kata Walid. “Belajar melakukan teror dan mengantisipasi teror, bahkan belajar membuat virus. Tapi, pelajaran membuat virus itu dihentikan karena bahaya.”

Walid berlatih menggunakan senjata api laras panjang sekaligus bongkar-pasang berbagai jenis senjata. Ia mengaku dapat mengoperasikan dan mampu memperbaiki senjata AK 47, AK 56, SKS, M 16, MP 5, GRENOP, G2, G3, Sneeper Draganop, DSK 12,7 dan senjata api laras pendek Jenis TT dan MECAROP. Ia pun berlatih keterampilan menembak dengan cara berdiri, duduk, jongkok, dan tiarap dengan pelatih Abu Umar asal Saudi Arabia. Berlatih bela diri Judo yang dilakukan di atas matras dalam camp. Latihan anti teror meliputi room combat, refling, dan inteligen dengan pelatih Abu Muaz, mantan jenderal Pakistan yang bergabung dengan mujahidin Kashmir untuk melawan India. Ia juga belajar taktik perang termasuk cara melakukan penyergapan kepada seorang mentor bernama Abu Ibrahim. Ia pun belajar merakit bom, berdaya ledak rendah dan besar. Abu Sofyan asal Pakistan mengajarinya merakit bom dengan bahan sulfur, KCL O3, arang, dan alumunium powder.

Mentor Bom dan Mengantar Beli Senjata

Selesai dari pelatihan pada 2001, Walid kembali ke kampungnya dengan aktivitas bertani hingga 2004. “Sepulang dari Kashmir, saya membantu orang tua. Saya dipersiapkan untuk bertahan jika terjadi konflik. Kalau untuk memberontak terhadap negara sendiri tidak diajarkan. Hanya untuk mempertahankan diri.”

Dalam perjalanan waktu, Walid sempat mengajarkan cara membuat bom kepada temannya, Aden alias Rusdin Kalderat dengan bahan-bahan dari KCL O3, Sulfur, gula pasir, dan arang. Ia juga pernah mengajarkan membuat bom via SMS kepada Sukri dan Abu Uswah, karena Abu Uswah sedang ada di luar daerah. Ia bergabung dengan organisasi pimpinan Abu Uswah yang tidak mempunyai nama tapi bertujuan membela kaum muslim yang tertindas. Sebelum melatih merakit bom, Walid menyampaikan amanat mentornya Abu Sufyan kepada mereka, bahwa bom digunakan untuk perang, bukan untuk membunuh orang secara serampangan.  

Selain melatih membuat bom, pada September 2012, Walid juga mengantar Abu Uswah membeli senjata untuk melakukan teror dan penembakan terhadap anggota polisi yang daerah sasarannya  di Poso dan Palu, Sulawesi Tengah,. Polisi dipilih karena  sering melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap ikhwan-ikhwan. Skenarionya, memancing anggota polisi untuk naik ke gunung, kemudian dilakukan penembakan. Tak hanya itu, senjata juga rencananya digunakan untuk mengahadapi Josep 12 di Poso, Sulawesi Tengah. Josep 12 merupakan istilah untuk menyebut peristiwa yang konon dirancang oleh kaum kristiani untuk menyerang muslim pada tanggal 12, bulan 12, dan tahun 2012.

Setelah transaksi, Walid dan Abu Uswah pulang ke rumah Walid di Seram bagian Barat dengan speed boat. Senjata api laras panjang jenis FNC seharga 20 juta masih dititip di rumah penjualnya, bang Jumu alias Imran. Esoknya, ia bersama Abu Uswah kembali ke Ambon dan mampir ke rumah kakaknya di komplek Pepabri Ambon. Ia merasa ada yang membuntuti, lalu menyampaikan kepada Abu Uswah supaya lekas kembali ke Makassar. Menerima saran itu, Abu Uswah memberi uang tiga juta rupiah kepada Walid untuk membeli amunisi seribu butir, kemudian kembali ke Makassar dengan pesawat.

Walid pulang ke rumah kakak sepupu di daerah Kebon Cengkeh, Lorong Alaka, Kota Ambon. Merasa ada yang mengikuti, ia pun menginap beberapa malam di rumah kakak sepupunya. Esok harinya ia mendapat telepon dari Abu Uswah yang mengabarkan dirinya sudah sampai di Makassar. Tak berselang lama, Abu Uswah mengirim SMS, menyampaikan informasi yang ia terima bahwa situasi Ambon masih belum aman. Walid dianjurkan untuk tidak keluar rumah dan tidak membawa senjata api dan pelurunya ke Makassar.

Saat berada di rumah itu, Jasmi, sepupu Walid, menelepon Sukri, sahabat Walid yang juga sahabat Abu Uswah. Tapi tidak aktif. Walid menelepon keponakannya, Yanti, dan menanyakan tentang keberadaan Sukri. Yanti saat itu berada di dermaga Ketapang, Seram bagian Barat, dan sempat melihat Sukri naik speed boat ke Ambon. Yanti menyampaikan, bahwa Sukri sudah berangkat ke Ambon menuju Makassar karena istrinya mau melahirkan.

Mengetahui jejak Sukri, Walid bergegas menuju terminal angkot di Batu Merah untuk menunggu kedatangan Sukri. Saat Sukri muncul, Walid menghampiri, lalu mengatakan bahwa situasi Ambon tidak aman. Walid mengajak Sukri ke rumah sepupunya di Kebun Cengkeh untuk menginap. Walid menyampaikan pesan Abu Uswah bahwa ada titipan di rumah bang Jumu alias Imran yang akan dibawa ke Makassar. Sukri pun menyampaikan bahwa granat nanas sudah ia bawa. Tapi, karena situasi tidak aman, sebagaimana pesan Abu Uswah, senjata yang dititipkan di rumah bang Jumu alias Imran tidak dibawa ke Makassar.

Setelah menginap satu malam, Sukri langsung pulang ke keluarganya di Tantui, Ambon, dengan membawa granat nanas. Sedangkan Walid menuju Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon, membeli tiket Kapal Ciremai menuju Tual. “Saya sudah dipantau. Ada informan dari keluarga saya juga. Saya pun ditangkap di kepulauan Kei,” ujar Walid.   Abu Uswah yang bernama asli Buchori menjadi DPO. Ujung perburuan terhadap Abu Uswah berakhir dengan tertembaknya oleh aparat kepolisian pada 4 Januari 2013.

Menghuni Lapas Ciamis

Pada 3 April 2014, Mahkamah Agung menerbitkan putusan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang memvonis Walid atas tindakan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme. Atas vonis berkekuatan hukum tersebut, ia pun menjalani hukuman di Lapas Ciamis. “Saya dipenjara karena kasus kepemilikan senjata api dan terkait dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT),” ujar Walid.

Di lapas Ciamis, Walid berjumpa dengan terpidana berbagai kasus, termasuk beberapa teman dengan kasus terorisme. Ia sadar meski sesama mujahid, belum tentu memiliki pandangan keagamaan yang sama. “Tidak semua memiliki fikrahyang lurus, ada yang mengkafirkan sesama mujahid.” Ia pernah mendengar seorang rekannya di lapas yang berbisik kepada sesamanya yang satu pemikiran. Dengan bahasa daerah yang sebagian katanya ia pemahami, intinya bahwa orang itu bisa menghabisi dirinya. Walid tak gentar, “Kalau dia berani, saya lawan,” ucap Walid yang tak punya teman kelompok, sementara orang itu ada teman kelompoknya.

        Selama di lapas ia pun mengikuti kegiatan mengaji yasin setiap jumat dan upacara bendera. Tapi, kelompok yang mengkafirkan sesama mujahid itu menolak NKRI, di antara mereka ada yang bilang bahwa ikut upacara bendera itu murtad. Walid berpikir, “Murtadnya dari mana?! Ya, terserah kalian. Saya ingin bebas. Saya tidak terikat dengan kalian. Kalau kalian berpikir seperti itu, akan sulit hidup di Indonesia.”

Di lapas, pikirannya semakin kuat untuk lebih mementingkan keluarga. Ia berpikir, sebagai kepala keluarga, jika bermasalah, nasib keluarganya menjadi tak menentu. Untuk itu, ia acapkali diskusi dengan teman di lapas yang satu fikrah. “Saya mencari teman yang membawa manfaat untuk pribadi, keluarga, dan negeri ini.” Kesadaran itu muncul dari pikiran dia sendiri setelah merenung. Merasa mantap dengan fikrahnya, ia pun tak sungkan memberi nasihat kepada temannya yang lebih muda dari dirinya.

Menolak ISIS, Fokus Keluarga

Setelah bebas, pada 9 April 2015, suatu waktu Walid diajak oleh teman-temannya yang sudah berbaiat ke pimpinan Islamic State in Iraq and Syria (ISIS). Ia tidak menerima ajakan itu. “Saya baru keluar, saya tidak ingin bergabung dengan kelompok mana pun. Kita bergaul saja. Saya tidak pro sana atau pro sini. Saya mau mengurus keluarga,” ujar Walid. Ia kembali teringat nasihat seorang syaikh dari Mesir saat hendak ke Kashmir untuk tidak berbaiat kepada kelompok tertentu.

Keluarga Walid yang beragama Islam di Ambon tidak melihat dirinya sebagai teroris, tapi sebagai pejuang. “Bahkan, kelompok Republik Maluku Selatan (RMS) yang ingin merdeka kita lawan,” tegas Walid. Tidak pula ada pandangan buruk dari warga di kampungnya, karena tujuan dirinya berjuang bukan untuk mendirikan negara seperti ISIS.

Selain menolak masuk ISIS, pikiran Walid terhadap orang yang berbeda agama sudah berubah. Jika dahulu saat konflik Maluku, Walid memandang kristen sebagai musuh, kini tidak lagi. “Om saya kristen. Dulu saya kalau meliat kristen merasa akan menyerang kita, karena musuh. Setelah sekarang aman dan sudah bergaul. Perubahan pemahaman saya sesuai kondisi.”  Keluarga Walid memang cukup beragam, selain sebagian besar muslim, ada juga yang Kristen. Di Ambon kenyataan seperti ini biasa, Ada adat yang namanya Peela Gandong, sebuah kearifan lokal yang juga menjadi media untuk rekonsiliasi dan keguyuban antar warga.

Setelah bebas, sepanjang 2015, Walid beraktivitas di Ambon dan Jakarta. Pada 2016, ia dan keluarga mengontrak sebuah rumah di Jonggol, Bogor Jawa Barat, daerah penyangga ibu kota. “Saya tidak ingin seperti dulu, sumbu pendek. Padahal itu konspirasi. Untuk itu, saya hijrah ke sini,” ujar Walid.

Tekad Walid untuk fokus mengurus keluarga ia buktikan dengan berdagang. “Macam-macam yang saya jual, apa saja, asal jangan orang yang dijual, ha ha ha. Di pasar dan online juga,” ujar Walid dengan kelakar. Istrinya pernah membuka PAUD/TK, tapi kini sudah tidak beroperasi. “Kalau ada orang yang tahu status saya sebagai mantan terpidana teroris, saya biasa saja. Justru itu pengalaman dan pelajaran hidup saya.”  

Belajar dari pengalaman dirinya, Walid memberi nasihat kepada anak-anaknya untuk mengambil pelajaran dari dirinya. Ia meminta untuk berhati-hati dari apa yang diterima dari orang lain. Dalam hal agama harus difilter dan diteliti. “Begitu mendengar ayat atau hadis, terlebih dahulu kita pelajari. Bisa jadi, mereka membawa tafsiran yang salah. Sekali kita melakukan kesalahan, bisa jadi fatal untuk dunia dan akhirat kita,” ujar Walid. Ia memberi contoh, seperti bom bunuh diri. Menurut dia, itu kesalahan yang sangat fatal, tidak benar menurut Al-Quran dan sunnah. “Kita mati bisa masuk neraka. Siapa yang menjadi korban? Diri kita dan keluarga kita.”

Menapak Jihad Baru

Sebelum menjadi jihadis bersenjata, Walid mengaku hobi membaca. Dulunya dia menyukai membaca buku-buku seperti karya Abdullah Azzam, Ikhwanul Muslimin Mesir, buku tentang sejarah dan juga beberapa buku ilmiah lainnya. Sewaktu di Ambon, akses untuk mendapatkan buku dmemang dirasakan sulit. Buku-buku itu dia peroleh misalnya dari keluarganya dan temannya yang baru pulang dari Makassar atau kota besar lainnya. Tak pelak seiring waktu, begitu mendapat informasi telah berdiri  Rumah Daulat Buku (Rudalku) dengan antusias ia bersedia bergabung. Apalagi di peguyuban literasi ini ditegaskan siap menjadi  jihadis literasi. “Dengan Rudalku menjadi perantara saya, dari jihad bil-qital, dengan berperang, menuju jihad literasi.” Ia berpandangan, jihad tidak hanya dengan pedang, tapi bisa dengan pendidikan, buku, dan ilmu. “Rudalku sebagai sarana saya untuk bisa mengasah lagi ilmu saya dan keluarga,” ujar Walid.

Ia percaya bahwa buku bisa menentukan perilaku seseorang. Walid berpandangan, seseorang bisa menjadi baik atau menjadi buruk dari apa yang dia baca. Jika membaca buku-buku radikal, paham-paham yang sesat, maka akan mengubah seseorang yang semula baik menjadi buruk. “Ketika membaca buku-buku yang baik, itu menjadi nutrisi untuk fikrah dia. Dari yang radikal menjadi moderat,” ujar Walid. Bagi Walid, kehidupan seseorang itu tergantung fikrahnya.   

Dahulu, ia membaca Tarbiyah Jihadiyah karya Abdullah Azzam. Buku itu sangat menginspirasi dirinya untuk berjuang melawan kezaliman. “Ada janji Allah bahwa perjuangan kita tidak sia-sia. Kemudian saya berubah karena kesadaran dan lingkungan,” ujar Walid.

Maka itu, ia berpandangan, peran bacaan itu sangat penting. Ketika berbicara kepada seseorang, belum tentu dia menerima nasihat atau pandangan kita. “Tapi, ketika kita kasih buku, tanpa kita yang bicara, buku itu nasihat yang tidak bergerak,” ujar Walid. Hal itu terbukti, ada keluarga maupun rekannya yang fikrahnya berubah setelah diberikan buku.

Berdamai Demi Negeri

Apa yang kini bersemayam dalam benak Walid? Ya, Walid bersiteguh ingin berkontribusi dalam memperbaiki citra Islam. Dengan tindakan teror, Walid mengingatkan justru akan  membuat citra Islam menjadi buruk di mata khalayak, di kalangan Islam atau selain Islam. Ia berpesan kepada pemerintah, kelompok mujahid, dan seluruh umat Islam.


Pesan dia kepada pemerintah untuk menangani terorisme tidak hanya dengan kekuatan atau kekerasan, tapi dengan cara persuasif. Ia menyarankan agar pemerintah

melihat latar belakang para teroris. “Tidak semua orang mengikuti sebuah kelompok itu dengan fikrah, bisa jadi karena faktor ekonomi. Orang yang tidak punya pekerjaan gampang disulut.”

Ia berpandangan, bahwa seorang pemimpin jihad tidak berpikir mengorbankan anak buahnya, tapi justru menyelamatkannya. Walid mengajak kepada para ikhwan untuk menyadari, darah saudara-saudara kita sangat berharga, saudara sesama ikhwan dan kaum muslimin, serta saudara sebangsa dan setanah air. “Teman-teman, mari kita berpikir untuk tidak merugikan diri sendiri dan orang banyak, apalagi menimbulkan korban.” Untuk itu, ia mengajak kepada para mujahid. “Kita dulu bisa jadi bersalah. Tapi tidak ada batasan bagi manusia untuk berubah.

Tak lupa, Walid mengajak untuk mencintai tanah air. “Pendahulu kita berjuang mengorbankan darah dan nyawa serta hartanya itu untuk kemerdekaan Indonesia. Marilah kita berjuang untuk bisa mengisi kemerdekaan.” []