Marjinalitas

Oleh: Soffa Ihsan

Dunia tempat kita hidup (lebenswelt) sesungguhnya tak hanya menyimpan kekayaan yang kasat mata dan menggoda hasrat material kita, tetapi juga mengandung banyak kekayaan yang tak kalah gahar menggoda serta bisa dijelajah sebegitu mendalam dan memesona. Lalu bagaimana caranya? Cukuplah dengan menekuri penuh khidmad dan khusyuk kenyataan sekeliling. Ah, jangan-jangan apa yang kita lihat dalam keseharian hidup kita ini ada hal-hal yang unik, sumir atau aneh. Namun, jangan sampai kita terjebak dalam “kelaziman” belaka. Selayakumpama, kita lebih enjoy menatapi wanita-wanita jelita yang sedang berjalan lalulalang atau sedang asyik belanja di mal.

Kita tak hanya memergoki kenyataan yang unik itu dengan leha-leha  sambil merokok dan minum kopi, menganggap cukup sudah. Ibarat ular yang tengah rebahan melilitkan dirinya, bermalas-malasan sembari menatapi mangsa. Tidak! Kita perlu menjadi harimau yang memburu mangsanya dengan gesit hingga ke lobang tikuspun dikejarnya. Ya, kita mesti menuruti rasa ingin tahu kita dan lalu menapaki jejak per jejak dengan terus memantau kenyataan unik tersebut. Sudah cukupkah itu? Tidak. Kita mesti “kasak kusuk” untuk turut mengalami dan merasakan “getir-getir” kenyataan unik tersebut. Ya ada yang marjinalitas, kenyataan yang berada di pojok-pojok kehidupan yang seringkali jauh dari relasi kuasa. Bahkan, kenyataan itu menjadi obyek cibiran, picingan sebelah mata atau juga caci maki.

Bagaimana kita bersikap manakala ada sekelompok waria atau PSK yang diuber-uber oleh Trantib ditengah suasana kota yang hiruk pikuk dan jumawa? Atau pemandangan pengemis-pengemis jalanan dalam sosok semisal seorang ibu yang sembari menggendong bayi meminta-minta disamping mobil mewah? Ditengah badai pandemi covid 19 yang melantakkan ini banyak kita tatapi kepedihan, keperihan dan kemuraman.  Apa yang merengsek benak kita? Kita jadi haru yang mengharubiru, menitikkan air mata, bertindak dengan ikutan berdemo atau cukup melayangkan kalimat-kalimat marah di facebook, twitter atau lainnya? Ataukah malahan kita melihatnya sekedar ‘dinamika’ berbangsa dan bernegara, musibah yang mendera negeri ini, bahkan pula panorama eksotika dalam balutan keragaman atau inikah marjinalitas yang menyudutkan sekelompok identitas, klas atau macam apapula?  

Awas! Ini bukan ‘tontonan’. Lalu apa? Berbijaklah dengan menekuri semua kejadian di atas selayak ‘tuntunan’ yang akan menuntun kita pada ‘kesaksian’ bak seorang saksi yang dihadapkan dimuka sidang yang terhormat. Tapi, kita tak perlu datang ke pengadilan yang konon sudah berhambur dengan ragam kepentingan. Kita tak perlu mencantolkan pada undang-undang yang memuat kalimat yang berbunga-bunga. Kita tak perlu jua meratapi di altar ‘tembok ratapan’ demi mengiris-ngiris kekalutan jiwa. Cukup sudah, kesaksian dijelmakan dalam sebuah karya beruntai kata penuh empati, jujur dan tidak jargonis yang mampu menggugah dan menorehkan ‘prasasti’ jamak makna bagi pembaca. Kata Soe Hok Gie,“Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”

Sekali lagi, mari kita saksikan bahwa sepanjang ini kaum marjinal seolah patah arang. Tesis peradaban penuh lelucon tentang “kebenaran khalayak ramai” masih dipandang digdaya. Maka, mereka sudah tak nyaman lagi bicara tentang hak dan ruang seperti apa yang mereka sebut mimpi buruk tentang konflik, penindasan, marjinalitas, keterasingan, kekerasan, diskriminasi dan selengkap luka. Tiba-tiba, dilemapun kadung diterima. Hak untuk merdeka dan hak untuk memilih diam membisu di depan ragam ancaman. Disana, sistem mendeklarasikan sebuah pamer kekuatan dan serta merta mengeksekusi—dengan otoritas—setiap sesuatu yang melenceng dari rel khalayak. Sebab itu, narasi tentang heroisme, mayoritas dan unitarian dimunculkan dan sejarah telah mencatat bahwa dosa kerapkali hadir tanpa bahasa. Justru ia mendapati bahasa dalam keseluruhan diri yang tertindas, dalam hati yang sakit.

Seperti layaknya lakon peradaban manusia modern yang meletakkan kaum marjinal disatu tepi yang paling sepi dalam logika binner buah politik kekuasaan. Mereka menjadi identitas liyan dalam permainan ideologi dan ambisi. Mereka kelak mesti menelan pil pahit dan berdiri setengah jongkok dalam stigma inferior

Ya, kaum marjinal berkelindan dalam ragam stigma. Mereka dipinggirkan karena tak patuh pada “kategori-kategori normalitas” khalayak dan kekuasaan. Mereka dikerat-kerat karena dianggap “abnormal”. “Seorang pribadi dengan sebuah stigma,” bisik Goffman, “tak sepenuhnya manusiawi.” Lantas, dimana kaum marjinal akan meletakkan dirinya jika pada ujungnya setiap kebenaran adalah anak kandung kekuasaan, tapi anak haram bagi yang tak punya kuasa?

Memindai Marjinalitas

Masyarakat marjinal ditandai pengekangan dan penolakan secara terang-terangan maupun diam-diam–namun terencana–,yang dilakukan terhadap suatu kemunitas oleh kelompok lain, misalnya penguasa, pengusaha, kaum politisi, serta agamawan. Akibatnya, mereka yang menjadi korban mengalami pemisahan dan terpisah secara sosial, budaya, gaya dan tampilan hidup keseharian. Mereka tersingkir secara alami karena daya jangkaunya–pada hampir semua aspek hidup dan kehidupan–mengalami pembatasan dan penghambatan. Sikon marjinal paling mudah dialami oleh mereka yang terlahir sebagai etnis minoritas, perempuan, pengangguran, orang-orang miskin, penyandang tuna-aksara, tuna-wisma, tuna-susila, orang-orang cacad, pasien AIDS, dan bejibun lainnya.

Marjinalitas suatu masyarakat bisa dimaknai ketika kebudayaan dan pandangan hidup suatu masyarakat disingkirkan oleh unsur-unsur yang memarjinalisasikannya. Marjinalisasi timbul karena adanya pembahasan yang beralih dari bagian sentral politik ke perifer politik. Otoritas negara tidak dapat dipercaya, dimana kesenjangan antara tujuan negara dan pelaksanaannya secara lokal. Otoritas kebijakan nasional bergeser karena disesuaikan dengan otoritas di ranah marjin. Padahal, pembedaan kebudayaan yang jauh dari kesedarajatan di ranah marjin merupakan tanda pengucilan dari pusat.

Negara, modernitas, dan agama resmi selalu diidentifikasi sebagai kelompok kekuatan yang pertama dan rakyat, adat, marjinalitas, subaltern sebagai kelompok yang subordinat, terhegemoni, tertindas, dan terkolonisasi.

Relasi antar berbagai kekuatan dalam pergumulan kebudayaan seringkali membentuk jaring-jaring yang rumit dan sulit diurai hanya dengan suatu cara pandang tertentu, selain karena jaring-jaring itu tidak tunggal dan terus bergerak dinamis, pergerakannya terarah pada suatu yang sulit dipastikan. Dalam konteks kelompok kekuatan yang diidentifikasi tertindas, kepekaan mutlak diperlukan terhadap kemungkinan munculnya kekuatan balik berupa kreatifitas membangun dan mengembangkan “politik marjinalitas”, negosiasi, atau budaya tanding dalam kerangka melakukan pembentukan ulang secara individu maupun kelompok sesuai dengan ruang dimana ia berada demi kehidupan yang lebih berdaya hidup.

Di altar lain, cara pandang yang terikat pada satuan-satuan kolektif cenderung mengabaikan kemungkinan artikulasi individu sebagai subjek kebudayaan. Peran-peran individu dalam setiap proses pertarungan antar kekuatan sebagai perwujudan dinamik kebudayaan menjadi tersembunyi, tak terlihat, atau bahkan tak terakui, sehingga kesan kuat homogenisasi persoalan tak terhindarkan.

Ketika kita menyebut Jawa, Madura, Bugis, Batak, Minang, Dayak, Sasak, Tengger, Kajang, Samin, Parmalim, Kaharingan, negara, agama, atau modernitas, seolah-olah masing-masing merupakan ‘kekuatan tunggal’ yang hampa kejamakan. Pada tingkat tertentu, karena individu akan selalu menunjuk pada orang perseorangan, penyembunyian peran-peran individu selama ini terkesan tidak mengorangkan orang. Dan homogenisasi itu pula yang tampaknya mewarnai seluruh produk regulasi dan keputusan-keputusan politik.

Kini-disini, kita menyaksikan betapa kecenderungan mutakhir yang ditandai semakin menguatnya klaim-klaim kebenaran, rasionalitas prosedural, puritanisasi, identifikasi dan unitarisasi dengan mengokohkan yang residual juga berpengaruh pada kemungkinan tertutupnya peran-peran individu. Baik klaim kebenaran maupun identifikasi selalu menuntut manifestasi kebersamaan dan solidaritas. Bahkan dalam konteks gerakan sosial pula, solidaritas sangat dibutuhkan agar gerakan itu sendiri lebih massif dan diasumsikan akan membuahkan hasil maksimal. Dengan demikian, individu sebagai bagian dari kelompok sosial tertentu seolah kehilangan kemerdekaan karena terperangkap dalam keharusan kolektivitas dan terepresi oleh kategori yang ia percayai sendiri. Tidak sedikit, misalnya, seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena dia adalah orang Jawa, atau karena dia adalah tokoh adat yang secara tak sadar ini adalah korpus tertutup.  

Inilah sebentuk fundamentalisme yang gagal menafsirkan kebebasan dalam merespons modernitas, yang menyerabut banyak bentuk kehidupan tradisional, termasuk tepa selira dan tanggung jawab dalam rangka respons komunal. Seturut Habermas, fundamentalisme menemukan bentuk yang ekstrem dalam monopoli kebenaran. Monopoli secara eksklusif bersifat modern. Dalam hal ini, fundamentalisme bukan gerak kembali yang sederhana kepada suatu cara yang pramodern dalam memahami kebebasan. Fundamentalisme justru menjadi resistensi diri terhadap prinsip-prinsip multikulturalisme yang justru menjadi benih distorsi dalam komunikasi bersama, suatu kesalahpahaman atau manipulasi.

Dalam konteks kajian analisis wacana, wacana yang di hadirkan bukan sekedar mengenai penggambaran, tetapi juga struktur dan tata aturan dari wacana. Realitas difahami sebagai seperangkat konstruk yang di bentuk melalui wacana. Realitas itu sendiri menurut Foucault tidak bisa di definisikan jika kita tidak mempunyai akses dengan pembentukan diskursif tersebut. Kita telah mempersepsi dan kita juga telah menafsirkan bagaimana obyek atau peristiwa dalam sistem makna tergantung pada struktur diskursif, yaitu suatu pandangan dimana dunia itu dinilai yang satu benar yang yang lain salah. Hal ini sangat sejalan dengan model-model pemikiran masyarakat kita yang memandang dunia ini hanya ada dua sisi. Kalau tidak hitam ya putih.

Mengikuti pandangan Antonio Gramsci, penerimaan kelompok yang didominasi oleh kelompok dominan bisa saja berlangsung dalam proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Dalam hal inilah, media memiliki peranan yang sangat signifikan dimana suatu kelompok mengukuhkan dirinya sebagai suatu kelompok yang dominan dan melalui media inilah kelompok dominan ini mampu merendahkan kelompok lain.

Disini kita mengenal ada istilah ekskomunikasi. Ini berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dikeluarkan dari pembicaraan publik. Ia tidak dianggap, ataupun jika ada ia dianggap lain, bukan dari bagian kita. Ada pula istilah eksklusi, yaitu bagaimana seseorang dikucilkan dalam pembicaraan. Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tetapi mereka di pandang lain, mereka buruk dan mereka bukan kita. Dan lagi istilah delegitimasi yang berkaitan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dianggap tidak absah. Dalam delegitimasi ini yang dipersoalkan di sini bukan penggambaran yang buruk mengenai suatu masalah. Akan tetapi. bagaimana masing-masing pihak diwacanakan; siapa yang di anggap benar dan siapa yang di anggap salah.

Walhasil, marjinalisasi sesungguhnya tidak muncul dengan sendirinya ataupun ada karena kehendak ilahi. Ia sejatinya diciptakan atau dimunculkan oleh manusia. Manusia, dengan atau melalui tindakan terencana dan sistimatis, dalam rangka menyingkirkan, meminggirkan, memarjinalkan sesamanya. Dan ketika orang lain telah terpinggirkan, maka aktor utama upaya peminggiran itu tampil sebagai pemenang.

Peka dan Terlibat

Menjadi agak mudah bagi kita untuk memahami pernyataan seorang filsuf bahasa kenamaan, Ludwig Wittgenstein bahwa ”batas bahasaku adalah batas duniaku”. Kalau ketidakmampuan berbahasa adalah batas dunia binatang, maka kekurangcakapan berbahasa juga membatasi dunia manusia. Pun bila dikehendaki memperluas dunia manusia, maka salah satu piranti utamanya adalah kecakapan berbahasa.

Dalam ungkapan filsuf Ernest Cassirer, kalau kebanyakan dari kita meyakini bahwa pembeda utama manusia dari binatang adalah kemampuan berpikirnya, sebenarnya yang tepat bahwa manusia menjadi begitu istimewa karena bahasa. Inilah animal symbolicum.

Secara filosofis, sebutan manusia sebagai makhluk pengguna simbol memiliki cakupan lebih luas dibanding sebutan manusia sebagai makhluk berpikir (homo sapiens). Sebab, hanya dan hanya bila menggunakan bahasa, maka manusia bisa berpikir dengan runtut, teratur, canggih, dan abstrak.

Tanpa bahasa, maka tiada pula kemampuan manusia untuk meneruskan nilai-nilai, pola-pola perilaku, dan benda-benda budaya dari satu angkatan kepada angkatan penerusnya. Tanpa bahasa boleh jadi juga akan jauh lebih sulit membayangkan terjadinya pengayaan budaya melalui pertukaran antar kelompok masyarakat.

Namun demikian, sebagaimana diuraikan oleh Michael Polanyi, seorang filsuf berkebangsaan Hongaria, terdapat paradoks hubungan antara bahasa dan pengetahuan. Di satu sisi, bahasa memungkinkan manusia untuk berbagi, mewariskan, dan mengembangkan hasil buah pemikiran, yang diantaranya adalah pengetahuan. Di sisi lain, karena sifat dasar yang juga tak terelakkan, ternyata bahasa juga cenderung menyederhanakan kenyataan yang seharusnya bisa dipaparkan, dijelaskan, dan bahkan diramalkan secara apa adanya oleh ilmu pengetahuan.

Nah, bila begitu bagaimana kita bisa menulis masalah marjinalitas seumpama kemiskinan jika kita tak pernah bergaul lebih intens dengan kehidupan gelandangan, pengamen jalanan, nelayan atau penjual sayur di pasar?

Menulis seraya kita bergaul dengan alam dan lingkungan sosial yang beragam akan mengasah kepekaan kita. Kepekaan terhadap ironi, terhadap tragedi, humor dan berbagai aspek kemanusiaan pada umumnya. Sesungguhnya, tulisan yang kita tulis dan baca bukan karena semata susunan katanya yang indah, melainkan pula karena dia mengusung nilai-nilai kemanusiaan.

 Menulis dan berkarya adalah sebuah invensi. Sebuah pesan dari ruang margin yang merupakan pemandangan kreativitas dan kekuasaan, ruang yang inklusif dimana kita memulihkan diri kita sendiri, dimana kita bertemu dalam solidaritas untuk menghapus kategori terjajah/penjajah. Ya, marjinalitas sebagai penanding dan perlawanan. Seperti kata-kata filsuf-sastrawan Perancis Albert Camus,”I revolt therefore I exist”, (aku berontak, maka aku ada).

Penulis adalah Marbot Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah daulat Buku (Rudalku)