Hedonistik Media Televisi dan Integritas Sosial Yang Terkoyak

Dr. Lukis Alam

Analis Sosial, Dosen Institut Teknologi Nasional Yogyakarta

Tayangan televisi beberapa tahun belakangan ini mengalami tren perubahan yang seolah telah menemukan marketnya masing-masing. Era 70-an hingga 80-an dunia pertelevisian masih dikuasai oleh stasiun televisi plat merah, yaitu TVRI (Televisi Republik Indonesia). Boleh jadi, era tersebut masyarakat kita masih tertuju pada tontonan yang tidak begitu banyak seperti sekarang. Masyarakat disuguhkan informasi yang bersifat homogen, yaitu televisi hanya “disuruh” menyampaikan pesan dan program Pemerintah yang berkuasa waktu itu, sehingga di sini media sebagai penyalur aspirasi ideologis kekuasaan, dengan harapan tatkala media televisi bisa menjadi corong Pemerintah, rakyat akan semakin perhatian dan memiliki sensitivitas yang tinggi, bahwa Pemerintah benar-benar serius dengan berbagai program yang digulirkan dan bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Dalam pada itu, ritme penyiaran TVRI terlihat monoton, pengarusutamaan topik tayangan pada berita-berita ekonomi, sosial, budaya dan politik nasional, sesekali juga menampilkan hal-hal yang terkait dengan demokrasi. Faktanya, masyarakat kemudian merasakan kejenuhan luar biasa terhadap tayangan-tayangan tersebut. Agaknya tidak berlebihan jika Denis Mcquail (1993), seorang pakar komunikasi, ia mengutarakan jika stasiun televisi yang otorisasi kepemilikannya di bawah Pemerintah, secara otomatis narasi yang dibangun adalah narasi yang bersifat konstruktif yang alurnya kepada kesejahteraan dan pembangunan sosial, karena memang itulah yang menjadi keniscayaan media televisi, ia menjadi penyokong penguasa.

Pasca 90-an bermunculan televisi-televisi swasta yang mulai menggerus market TVRI, mereka mulai mengambil peran penyiaran secara aktif dengan menayangkan tontonan yang berbeda dari sebelumnya, tampaknya stasiun-stasiun televisi swasta tersebut paham, kemana market penonton harus dibawa. Persaingan pun tidak terelakkan, TVRI dengan dukungan Pemerintah tidak tinggal diam seraya berekspansi ke berbagai pelosok desa di Nusantara yang belum terjangkau stasiun swasta. Sisi berbeda, stasiun televisi swasta harus berpikir keras mengemas tayangan mereka secara menarik. Oleh karena itu dibutuhkan inovasi dan strategi yang bagus guna membangun minat pemirsa televisi. Dari sana bermunculan tayangan-tayangan film impor, di saat itu mungkin kita masih ingat film MacGyver, Knight Rider, The Incredible Hulk dan sebagainya. Tayangan-tayangan itu tentu saja menarik perhatian anak-anak di masa itu. Lain halnya dengan stasiun swasta lain seperti TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) yang terlihat menyuguhkan tayangan-tayangan edukasi untuk level Sekolah Dasar hingga Menengah Atas, kini berubah nama menjadi MNC TV. Selain dua stasiun swasta itu, ada juga SCTV (Surya Citra Televisi), ANTV, Indosiar, TransTV, Metro TV, serta Lativi yang sekarang berubah menjadi TVOne. Stasiun-stasiun swasta tersebut semakin memeriahkan dunia pertelevisian di Indonesia dengan karakteristik tayangan merekan masing-masing.

Beragamnya acara, mulai dari sepakbola, quiz, film, konser musik, telenovela hingga sinetron dan mungkin masih banyak ragam tayangan lain telah memberikan ruang kepada masyarakat menjadikan televisi sebagai tempat bergantung meluapkan kepenatan hidup. Tentu saja, masih ada juga acara-acara konstruktif yang mencoba membangun kesadaran hidup dan spiritualisme, di mana acara-acara tersebut terlihat lebih semarak ketika tiba bulan Ramadhan.

Abad 21 saat ini, penetrasi televisi semakin menggurita, bagaimana tidak tontonan hiburan mendominasi masyarakat kita. Berbagai iklan telah menghiasi hampir seluruh televisi swasta, agaknya memang kapitalisasi terbesar pertelevisian saat ini didapat dari iklan. Televisi swasta mustahil eksis tanpa dukungan iklan. Belum lagi jika variasi tontonan saat ini didominasi tayangan gosip selebritas Indonesia yang menampilkan kehidupan hedonistik, sehingga mungkin saja masyarakat kita terlanjur menerima hal itu sebagai sesuatu yang lumrah & pada akhirnya ada kecenderungan meniru gaya hidup layaknya selebriti.

Persaingan antar stasiun televisi juga tidak bisa dihindarkan, mereka terlibat dalam membangun market berdasar share & rating, tontonan yang paling diminati akan mendatangkan keuntungan berlimpah. Korean wave dan sinetron dalam negeri menempati urutan pertama, ada upaya untuk mengargumentasikan permisivitas dan budaya kesenangan ditempatkan untuk menampilkan “borjuisitas penampilan” yang dirasa kian diminati oleh sebagian kalangan. Masyarakat kita terbiasa dengan kebiasaan instan yang terbangun dalam sinetron yang menyuguhkan tren budaya populer. Alur cerita dan tokoh serasa hidup dalam dunia nyata, tak ayal masyarakat kita terbiasa baperan, yang pada akhirnya menjadi sebab terdegradasinya pola perilaku, cara berpakaian dan berbahasa. Bahkan yang lebih fatal, mengakibatkan melemahnya daya saing sosial di tengah gempuran globalisasi.Tidak mengherankan belakangan sinetron menjadi sesuatu yang seolah tidak bisa dilepaskan sebagai tontonan primer, apalagi yang menonton mayoritas “emak-emak”.

“The power of emak-emak” menjadi slogan yang kian populer seiring menggeliatnya tren budaya populer yang didominasi oleh berbagai sinetron menghiasi televisi kita. Sinetron yang paling hits terkini, yang mungkin bisa “mempersatukan” masyarakat, adalah Ikatan Cinta. Kegantengan & kecantikan “maksimal” para aktor, serta ditunjang cerita yang menarik, seakan “membius” penonton untuk larut mengikuti cerita sinetron tersebut. Tokoh-tokoh seperti Aldebaran (Mas Al), Andin, Elsa, Nino dan sebagainya tampaknya telah menempati hati sebagian besar emak-emak Nusantara. Bukan mustahil lagi jika cerita dalam sinetron ini tidak mudah ditebak kelanjutannya, ditambah dengan sensasi cerita percintaan di dalamnya kian membuat penonton “ketagihan” & semakin menambah baper emak-emak.

Kondisi pandemi saat ini memungkinkan tayangan sinetron sebagai “pengobat kesedihan”, bahwa ternyata ada hiburan yang menyenangkan, namun di sisi lain, fakta sosial yang berkembang, terkadang penonton terjebak pada euforia dan sikap keberpihakan, jika cerita dalam sinetron itu benar adanya. Hal ini terjadi karena muncul bersamaan ikatan emosi yang luar biasa dan realitas sosial empiris masuk ke dalam pola pikir penonton. Bahkan, jika boleh dikatakan, sinetron itu telah memberikan fantasi yang sama kepada penonton, karena masing-masing penonton itu memiliki nasib & masalah yang sama sebagaimana diceritakan dalam sinetron tersebut.

Hiburan di televisi apapun modelnya telah menjadi ruang kontestasi antara rasionalitas dan irasionalitas. Kedua aspek itu menjembatani kepentingan audien yang silih berganti mencari saluran di tengah kejenuhan & problematika kehidupan. Secara substantif, tayangan-tayangan di televisi berproses pada kepentingan komodifikasi & kapitalisme hiburan. Audien menjadi objek kesenangan namun tidak sepenuhnya terbebas, lebih jauh lagi upaya-upaya homogenisasi selera, gaya hidup yang diakibatkan polarisasi tayangan-tayangan di atas tidak terelakkan. Kaum muda menjadi bagian dari proses tersebut, di mana mereka masih berada dalam usia yang masih “rentan”, pencarian identitas di kalangan mereka juga berpretensi menimbulkan kecemasan-kecemasan baru yang diakibatkan meniru selera dan gaya hidup bebas nilai. Tontonan televisi di satu sisi sebagai hiburan, namun di sisi berbeda, masyarakat juga harus diberikan pemahaman terhadap mekanisme bertahan dari gerogotan gaya hidup narsistik & hedonistik, bahkan materialistik yang semakin menggerus nilai-nilai kemanusiaan dan kesusilaan, sehingga ini menjadi titik tolak untuk membangun integritas sosial yang semakin penting di masa depan.