Sains dan Senjakala yang Dirindukan

Oleh Soffa Ihsan

Pandemi covid 19 adalah teror besar yang serentak pula kini tetiba berubah menjadi ‘industri farmasi’ yang berkompetisi secara ketat. Perlombaan untuk menemukan vaksin anti covid 19 telah memantik masyarakat mondial untuk secepatnya memproduksi serum guna menghalau teror pandemi.

Para ilmuwan kedokteran dipacu untuk bereksperimen secepat mungkin. Dunia sains menjadi gahar, bukan lagi bekerja senyap di laboratorium. Berbagai temuan yang ditampilkan sama-sama mengakui sudah teruji validitasnya secara prosedur ilmiah yang standar, yaitu melalui uji klinik dengan randomisasi tersamar ganda.


Dalam ranah ilmu sosial, seperti halnya para pakar terorisme yang berpeluh meneliti akar dan dinamika terorisme seakan telah mencapai tapal batas. Tak ada lagi temuan mengejutkan, semua hanya ‘daur ulang’, hanya repetisi. Sebelumnya, para ilmuwan sosial dibuat bingung dengan bangkitnya fundamentalisme dan radikalisme agama. Peter L Berger, sosiolog garda depan dan juga ilmuwan sosial lainnya jauh-jauh hari memiliki tesis bahwa dengan majunya modernisasi yang didukung tehnologi canggih, maka agama lambat atau cepat akan tergeser. Nyatanya malah sebaliknya sehingga memporak-porandakan bangunan ilmu sosial.

Sementara khalayak tak lagi hirau terhadap teori dan metode. Mereka asyik dengan dunia ‘post truth’-nya yang bertetanda ‘matinya kepakaran’. Yang penting mengumbar ocehan yang seolah ‘faktawi’ dan abai terhadap kebenaran. Inikah sinyal kebangkitan sains atau justru perlahan menggeret sains pada batas akhirnya?


Matinya Kreatifitas
Hakikat sains dan perkembangannya adalah kelahiran dan kematian sains itu sendiri, hingga tiba di suatu masa, tak ada lagi sains yang bisa dilahirkan dan dimatikan. Inilah yang hendak dicuatkan oleh John Horgan lewat bukunya The End of Science, Facing The Limits of Knowledge In The Twilight of The Scientific Age yang terbit awal tahun 1976 dan diterbitkan ulang tahun 2015.


Abad ke-19 yang dianggap sebagai abad jenius telah menjadi momentum yang melengkapi berbagai terobosan baru tentang prinsip-prinsip dasar sains. Namun penemuan-penemuan tersebut secara sekaligus juga menguak kesadaran kita, bahwa sesungguhnya tak ada sains yang sempurna, tak ada sains yang bisa menjawab semua pertanyaan manusia.

Perjalanan sains di abad-abad selanjutnya, bahkan semakin mengokohkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab, hampir di semua bidang sains, termasuk ilmu sosial dan filsafat. Inilah yang dikatakan John Horgan, bahwa manusia tengah memasuki batas-batas akhir ilmu pengetahuan. Kehidupan manusia seperti sebuah enigma yang tak ada habisnya.


Mendiang Stephen Hawking memang pernah menggemparkan dunia dengan “Teori Lubang Hitam” dan membuat pernyataan kontroversialnya tentang ketiadaan Tuhan. Namun Hawking dengan Teori Big Bang-nya itu tetap tak dapat memberikan jawaban pasti tentang hakikat hidup manusia di bumi. Bagi Horgan—yang selama ini lebih banyak bergulat dalam penelitian tentang radikalisme dan terorisme–ini tetanda bahwa sesungguhnya sains telah memasuki horizon.

Sains hanyalah pengembangan dari prinsip-prinsip dasar yang telah ada sebelumnya. Sains hanyalah sebuah antiklimaks dari pemikiran-pemikiran rasional dan pengetahuan empiris. Sains telah melampaui segala tanpa batas sehingga tidak ada kebaruan yang diharapkan, tidak ada jajahan baru yang dieksplorasi, tidak ada objek sains yang dapat diteliti, dan tidak ada utopia masa depan yang dapat diraih. Beberapa ilmuwan yakin ilmu pengetahuan mempunyai batas sampai menuju senjalaka setelah semua tujuannya terpenuhi. Maka tidak ada lagi fantasi dan imajinasi masa depan yang dapat dibayangkan.

Sains dipandang telah sempurna yang dapat mengkonstruksi masyarakat sempurna, yang didalamnya tidak ada lagi yang tidak tersedia, tidak ada masalah yang tak terpecahkan, tidak ada lagi pertanyaan yang tak terjawab, tak ada lagi misteri yang tak terungkap.

Kelak akan ditemukan ‘Theory of Everything” yang di dalamnya segala fenomena, dan pertanyaan dapat dicari jawabannya oleh sebuah teori tunggal yang melingkupi segala hal. Bila segala hal dapat dijelaskan oleh sebuah teori, maka ini berarti tidak ada lagi perkembangan teori, tidak mungkin dihasilkan lagi teori baru di masa depan, dan manusia sampai pada kondisi “matinya teori”.


Di dalam dunia sains modern maupun posmodern, permasalahan ontologis yang mendasar adalah kritik tentang ilmu logika. Logika berpikir, sempat diagung-agungkan oleh sains untuk menjelaskan hubungan kausalitas dalam realitas hidup manusia. Namun dalam perkembangannya, penjabaran tentang logika menurut sains tidak dapat dijadikan parameter mutlak, oleh karena berbagai logika tersebut terkait dengan berbagai sumber ontologi, yang pada akhirnya melahirkan bidang ilmu lain atau epistemologi tertentu. Sebagai contoh, permasalahan di bidang kesehatan, secara de facto, pemikiran sains kedokteran mungkin mendominasi dan selalu dijadikan ukuran untuk mencari solusi.

Namun bagaimana menjelaskan gangguan kesehatan yang diduga disebabkan oleh ‘ilmu hitam’ atau vodoo dan sejenisnya, yang hanya bisa ‘disembuhkan’ oleh pandangan yang lain, seperti ilmu Kejawen, meditasi yoga, ruqyah, doa-doa religi dan sebagainya. Inilah salah satu persoalan yang tidak dapat dijawab oleh sains, meskipun dibandingkan ilmu-ilmu tradisional, sains bersifat lebih agresif, memiliki tahapan dan ukuran yang jelas dalam pembuktiannya, serta secara historis telah mengklaim banyak kebenaran melalui demonstrasi metode-metode ilmiahnya.
Meskipun tersimpuh anggapan nantinya akan ada sebuah teori tunggal yang dapat menjawab semua pertanyaan manusia.

Ketika diduga tidak ada lagi objek di alam semesta yang menarik untuk diteliti, ketika semua sumber daya kehidupan telah didedah hingga ke partikel terkecilnya, ketika semua batas sains telah melebur akibat dekonstruksi karya-karya populer Jacques Derrida, ketika perseteruan teknologi dengan manusia bukan lagi sekadar fiksi ilmiah, atau ketika rekayasa genetika mungkin telah mencapai puncak keirasionalan para ilmuwan.


Persoalan-persoalan induksi di dalam sains itu sendiri secara perlahan dan terbukti terus menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru, semisal lewat kasus-kasus bencana alam di bumi. Mengapa terjadi tsunami, mengapa butir meteor berjatuhan, mengapa satu per satu negara di dunia ini akan tenggelam, dan sejumlah ‘tanda tanya besar’ lainnya. Sains mungkin akan menemukan kesulitan ketika harus menyembuhkan penderitaan manusia berupa luka batin akibat dari perjalanan hidupnya. Memahami derita manusia secara sains melalui filsafat Ketuhanan, digambarkan Voltaire–yang semula berpikir optimis terhadap dunia-dalam kata-katanya yang puitis,”Apa pun yang diselidiki manusia, dia tidak pernah dapat menyelidiki dirinya sendiri; Dia tidak tahu dari mana dia berasal dan ke mana dia menuju. Kita adalah atom penuh penderitaan, tertanam dalam lumpur, dimangsa kematian dan kebengisan nasib”. (Ignas Kleden, 2007).


Secara psikoanalisis, dalam pandanggan Habermas, penderitaan manusia berurusan dengan sebuah wilayah pengalaman manusia yang tersembunyi. Sebuah pengalaman yang sama misteriusnya dengan pertanyaan tentang ada tidaknya kehidupan setelah kematian. Sains juga tidak dapat menjawab hakikat kehidupan dan kematian manusia secara mutlak. Mengapa manusia harus hidup, dan mengapa manusia harus mati? Mengapa manusia menjadi tua, atau justru sebaliknya dari tua menjadi muda. Bagaimana sains bisa memproyeksikan masa depan, jika ia tidak memberikan makna pada sejarah keilmuan di masa lalu. Pemikiran-pemikiran para filsuf seperti Artistoteles dan pendahulunya ataupun sesudahnya, bahkan telah menempatkan sains sebagai objek keindahan dari buah pikiran manusia yang saling berkesinambungan. Sebuah keadaan dan ketiadaan, sebuah kesadaran dan ketidaksadaran, sesuatu yang visual dan imajinatif, yang tersentuh atau hanya dirasakan. Itulah perjalanan sejarah dari ilmu pengetahuan. Sebagaimana dikatakan Karl Marx, gerak sejarah sama sekali bukanlah persoalan keniscayaan metafisis; gerak sejarah bergantung pada syarat-syarat empiris perubahan dan keterlibatan para aktor sosial (Mcharthy, 2011).

Dalam hal ini adalah para makhluk di bumi dengan berbagai perannya masing-masing.
Sepanjang tegaknya peradaban, manusia telah dimanjakan secara massif oleh dunia-dunia “bayangan” yang lebih dipercaya dengan kenyataan riil hidup sehari-hari mereka. Filsuf poststrukturalis, Mitchel Foucault menjadi pendendang matinya peradaban dengan membongkar habis unsur kepentingan dari pihak-pihak pemegang otoritas untuk memaksakan kehendaknya melalui penindasan. Penindasan yang dibenarkan melalui hegemoni sains. Pada dasarnya pandangan ini hendak memberitahukan berakhirnya sebuah kekuasaan, berakhirnya sebuah otoritas mutlak atas segala sesuatu. Pandangan umum telah mereka balikkan, mainstream telah mereka porak porandakan.


Cerita pembongkaran mainstream dengan kekuatan sains ini menjadi cerita memilukan dalam sejarah peradaban. Persis ketika kematian sains dibekukan oleh dogma kepercayaan. Dan Brown melalui novel spektakulernya “Demon & Angel” (2005) telah menceritakan itu dengan nada keprihatinan mendalam. Dialog antara Langdon, sosok peneliti dan ahli bahasa dengan Kohler, kurator kaya yang pintar pada bagian tengah konflik buku itu telah menunjukkan keberanian Brown untuk membongkar fakta sejarah.


Tesis Dan Brown sangat lugas. Agama tak pernah sepakat dengan sains. Keduanya akan terus berhadap-hadapan. Tokoh-tokoh nyata semacam Socrates, Galileo, Copernicus, Stephen Hawking, terus menandai ‘pembangkangan’ ilmu pengetahuan sepanjang zaman. Mereka selalu melihat agama menjadi institusi pengurung ‘kebebasan’ ekspresi ilmu pengetahuan yang terkadang butuh semacam keliaran tersendiri.


Kejumawaan
Simpulan John Horgan cukup menyentak. Menurutnya, sains bukan dikalahkan oleh narasi besar keimanan dan keagamaan. Ternyata sains telah tewas oleh kerakusan dan kehebatan dirinya sendiri. Ibarat lagenda Dewa Narsiscus yang mati hanya karena terpesona dan pengaguman berlebihan atas diri sendiri, sains telah jumawa dan lelah dengan dirinya.

Kematian nalar dan ilmu telah semakin dekat. Tak ada lagi tantangan sains. Horgan sendiri menggunakan ungkapan senjakala untuk menyebut telah berakhirnya ilmu pengetahuan. Ada delapan wilayah pengetahuan yang diceritakan Horgan telah berada di tubir kematian. Maka, tak ada lagi revolusi dalam sains. Tak ada gunanya lagi berlarut-larut dalam tumpukan gelas eksperimen laboratorium, tak ada makna lagi yang bisa direnung-renungkan oleh para filsuf. Semua telah selesai!
Sains memang tidak mati dalam arti ketiadaan, tapi hidup dengan cara ironis atau dengan cara fatalistik.

Sains akan dicampuradukkan sehingga kehilangan jatidirinya, seperti yang dicenayangkan oleh pata filsuf seperti Nietschze, Heidegger, Feyrabend, dan Deluze. Sains tidak lagi dapat dibedakan dengan sastra, seni, puisi, atau agama. Sains tidak dilihat dalam objektivitas, episteme dan validitas kebenarannya, tapi pesona, retorika, dan keindahannya. Ilmuwan kehabisan bahan empiris, dan lalu mereka menciptakan fiksi ilmiah. Nasib kita mungkin berakhir dengan menyisakan pertanyaan; We Dont Know What We Dont Know.


Penulis adalah Marbot Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku)