Meneguhkan kembali Pancasila sebagai Dasar Bernegara

Oleh: Ali Muhtarom

Upaya untuk menciptakan persatuan warga bangsa dalam menyambut kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan dengan membangun komitmen bersama dari para pejuang kemerdekaan. Berbagai tokoh bangsa dari berbagai kalangan duduk bersama untuk membahas ideologi dan dasar negara dalam momentum sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan yang pada saat itu bertepatan pada hari Sabtu, tanggal 1 Juni 1945.

Dalam sidang BPUPK ini Soekarno yang nantinya dilantik secara resmi pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai presiden pertama menyampaikan pidato perjuangan persiapan kemerdekaan dihadapan segenap anggota sidang, sehingga momentum tersebut saat ini diperingati sebagai hari kelahiran Pancasila yang jatuh setiap tanggal 1 Juni.

Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa tidak muncul secara tiba-tiba. Proses tersebut menurut Yudi Latif, sebagaimana dalam tulisannya yang berjudul “Soekarno sebagai Penggali Pancasila, mengalami tiga fase yaitu fase pembibitan, fase perumusan, dan fase pengesahan.

Fase pembibitan sudah dimulai sekitar tahun 1920an dalam bentuk rintisan gagasan untuk mencari sintetis antara ideologi dan gerakan seiring dengan proses “penemuan” Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (Civic nationalism).

Fase perumusan dimulai pada masa persidangan pertama BPUPK tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 dengan pidato 1 Juni yang kemudian memunculkan istilah Pancasila. Sedangkan fase pengesahan dimulai pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang kemudian melahirkan rumusan final dan mengikat secara konstitusional dalam kehidupan bernegara.

Secara khusus diceritakan bahwa sebelum menyampaikan pidato tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno melakukan kontemplasi spiritual yang sangat mendalam untuk meminta petunjuk kepada Tuhan agar mendapatkan jawaban yang tepat tentang dasar negara yang akan digunakan bangsa Indonesia. Kontemplasi tersebut penting dilakukan karena mempertimbangkan berbagai aspek ideologi negara yang saat itu berkembang pesat mewarnai diskursus mengenai bentuk ideologi yang ingin dikembangkan, baik dari konsepsi negara demokrasi, sosialis demokrasi, maupun dari konsepsi keagamaan, terutama Islam sebagai agama yang mayoritas diikuti oleh bangsa Indonesia. Pada saat yang sama, munculnya berbagai ideologi dunia seperti kapitalisme, sekulerisme, sosialisme, dan komunisme menjadi pertimbangan penting bagi bung Karno untuk mempertimbangkan yang mana dari berbagai ideologi tersebut tepat diterapkan di Indonesia. Pada sisi lain, kalangan masyarakat Indonesia yang begitu beragam baik dari segi agama, suku, status sosial, dan lainnya juga memerlukan perenungan yang mendalam, terutama pada saat itu dalam situasi transisi.

Dari refleksi kesejarahan tersebut sebenarnya menjadi bahan renungan yang sangat penting bagi kita semua untuk mengembalikan spirit Pancasila yang pada saat ini mulai agak meredup. Kondisi seperti ini perlu disikapi, terutama dari pemerintah melalui penguatan kelembagaan negara secara komprehensif. Meskipun demikian, bukan berarti masyarakat secara umum tidak memiliki tanggung jawab terhadap penguatan dan pengembangan Pancasila karena sudah ada lembaga negara yang dibentuk, terutama BPIP. Sebagai warga bangsa seharusnya secara bersama-sama membangun kesadaran dalam penguatan dan pengembangan ideologi Pancasila.

Secara umum spirit Pancasila meredup karena masyarakat, terutama generasi muda tidak memiliki pemahaman dan kesadaran sejarah perjuangan bangsa. Spirit perjuangan yang seharusnya ditularkan secara turun-temurun mengalami berbagai kendala baik dari pemahaman sejarah kebangsaan orang tua yang minim, maupun peran pendidikan yang belum maksimal. Pemerintah baik melalui kelembagaan BPIP, maupun institusi pendidikan harus meninkatkan peranannya dalam menumbuhkan spirit Pancasila. Langkah strategis seperti pembinaan Pancasila di kalang millenial sebagaimana sering disampaikan kepala BPIP perlu dilakukan secara komprehensif dengan menggandeng institusi pendidikan, baik dari jenjang pendidikan taman kanak-kanak, dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi. Strategi kemitraan yang komprehensif ini sangat penting dilakukan karena penguatan Pancasila sifatnya membangun kesadaran masyarakat dan utamanya generasi millenial. Ketika pembinaan Pancasila hanya bersifat seremonial, sedangkan pada saat yang sama ketika muncul gerakan yang enggan menerima Pancasila begitu gigih dalam mengembangkan doktrin ideologis keagamaannya secara perlahan-lahan akan menggerus spirit Pancasila.

Kondisi yang perlu diperhatikan juga oleh pemerintah adalah menyiapkan para tenaga pendidik atau dosen yang benar-benar memiliki kesadaran tinggi terhadap dasar dan ideologi Pancasila. Kompetensi profesional, terutama bagi para dosen yang mengajar Pancasila perlu diperhatikan betul oleh institusi pendidikan. Bagaimana materi Pancasila akan diminati oleh siswa atau mahasiswa ketika cara menyampaikannya dilakukan degan kondisi yang datar-datar saja tanpa dijiwai dengan spirit yang tinggi. Menyedihkan sekali ketika materi Pancasila sebagai mata kuliah yang wajib diajarkan di setiap program studi di kampus dilakukan secara asal-asalan dengan sekedar mencomot dosen-dosen yang tidak memiliki keahlian khusus di bidang Pancasila.

Pada saat yang sama, spirit Pancasila meredup karena hadirnya ideologi keagamaan yang dipahami secara sempit dengan propaganda memunculkan ideologi keagamaan sebagai dasar negara. Kondisi ini menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia yang sahurusnya secara kaffah tidak mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara. Bagaimana sekiranya, ketika muncul pertanyaan dari mahasiswa yang mengatakan mengapa harus belajar dasar negara Pancasila karena Islam sudah lebih sempurna sebagai ideologi negara. Pertanyaan perlu penjelasan yang komprehensif dan mendalam, tidak hanya sekedar normatif dari diktat dari buku, tapi lebih dar itu, secara historis dan penjiwaan dari dosen perlu ditunjukkan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pertanyaan seperti di atas saat ini kembali muncul. Era demokrasi memberi ruang bagi munculnya ideologi dan gerakan tertentu yang enggan dan bahkan menolak Pancasila. Sebagian dari mereka ada yang terang-terangan menginginkan atau bahkan menuntut untuk mengembalikan piagam Jakarta. Bagaimana jika gerakan ini dikemudian hari semakin menguat, apa yang harus dilakukan negara ketika terjadi tuntutan yang sama dari penganut agama selain Islam. Bagaimana kalau agama Kristen, Hindu, Budha, bahka Konghucu menuntut hal yang sama. Inilah tantangan masa depan untuk menguatkan kembali dan menjaga spirit Pancasila bagi generasi bangsa Indonesia ke depan.

Jika yang menjadi isu penting saat ini adalah paham keagamaan, strategi yang paling utama untuk dilakukan saat ini adalah memberikan penguatan pemahaman keagamaan yang moderat. Perlu dilakukan pembinaan bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa secara fungsional sudah sesuai dengan nilai agama, bahkan jika dibandingkan dengan dasar dan ideologi yang ada di dunia ini, Pancasila lebih hebat karena menjadi pemersatu bangsa Indonesia yang sangat luas dan besar ini. Untuk itu, tuntutan untuk memunculkan tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluknya” jelas tidak sesuai dengan prinsip persatuan karena akan membuka ruang baru bagi meredupnya spirit Pancasila yang sudah disepakati bersama sebagai dasar negara yang merangkul seluruh kehidupan warga bangsa Indonesia.

Paradigma memahami Pancasila dan agama lebih tepat apabila diletakkan sebagai penerapan prinsip-prinsip keagamaan, bukan semata-mata diletakkan atas dasar bentuk formalitas keagamaan semacam mendirikan nagara Islam dan sejenisnya. Sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila memiliki spirit kebersamaan dan gotong royong yang tercermin dalam nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan sebagai nilai dan cita bangsa, demokrasi permusyawaratan, dan keadilan sosial sebagaimana yang tercantum dalam lima sila dalam Pancasila. Untuk itu, sebagai dasar dan ideologi negara, keberadaan Pancasila saat ini harus didukung secara bersama-sama untuk diaktualisasikan. Spirit Pancasila harus menjadi teladan bagi seluruh elemen bangsa dalam bergerak membangun bangsa, bukan sebaliknya, mengusik dan melakukan perlawanan untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain yang justru sangat tidak relevan bagi cita-cita membangun masa depan bangsa Indonesia yang lebih unggul dan maju.

Dari refleksi kesejarahan tersebut sebenarnya menjadi bahan renungan yang sangat penting bagi kita semua untuk mengembalikan spirit Pancasila yang pada saat ini mulai agak meredup. Kondisi seperti ini perlu disikapi, terutama dari pemerintah melalui penguatan kelembagaan negara secara komprehensif. Meskipun demikian, bukan berarti masyarakat secara umum tidak memiliki tanggung jawab terhadap penguatan dan pengembangan Pancasila karena sudah ada lembaga negara yang dibentuk, terutama BPIP. Sebagai warga bangsa seharusnya secara bersama-sama membangun kesadaran dalam penguatan dan pengembangan ideologi Pancasila.

Kondisi yang perlu diperhatikan juga oleh pemerintah adalah menyiapkan para tenaga pendidik atau dosen yang benar-benar memiliki kesadaran tinggi terhadap dasar dan ideologi Pancasila. Kompetensi profesional, terutama bagi para dosen yang mengajar Pancasila perlu diperhatikan betul oleh institusi pendidikan. Bagaimana materi Pancasila akan diminati oleh siswa atau mahasiswa ketika cara menyampaikannya dilakukan degan kondisi yang datar-datar saja tanpa dijiwai dengan spirit yang tinggi. Menyedihkan sekali ketika materi Pancasila sebagai mata kuliah yang wajib diajarkan di setiap program studi di kampus dilakukan secara asal-asalan dengan sekedar mencomot dosen-dosen yang tidak memiliki keahlian khusus di bidang Pancasila.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pertanyaan seperti di atas saat ini kembali muncul. Era demokrasi memberi ruang bagi munculnya ideologi dan gerakan tertentu yang enggan dan bahkan menolak Pancasila. Sebagian dari mereka ada yang terang-terangan menginginkan atau bahkan menuntut untuk mengembalikan piagam Jakarta. Bagaimana jika gerakan ini dikemudian hari semakin menguat, apa yang harus dilakukan negara ketika terjadi tuntutan yang sama dari penganut agama selain Islam. Bagaimana kalau agama Kristen, Hindu, Budha, bahka Konghucu menuntut hal yang sama. Inilah tantangan masa depan untuk menguatkan kembali dan menjaga spirit Pancasila bagi generasi bangsa Indonesia ke depan.

Penulis adalah Dosen di UIN SMH Banten dan Direktur Eksekutif Gerak Literasi Indonesia