Kembali ke Bumi Pertiwi dengan Literasi

Oleh: Soffa Ihsan

Wabah corona yang sudah ditetapkan sebagai pandemi yang berarti bersifat mondial seakan telah ‘menghijab’ geliat WNI eks Suriah yang tengah ramai diributkan. Kini nyaris tak terdengar pembicaraan ataupun teriakan soal pemulangan WNI Eks Suriah. Wajar karena sudah ratusan masyarakat yang terkena corona, sehingga perlu lebih mendapatkan tindakan buru sergap nan sigap.

Namun tanpa mengurangi kewaspadaan terhadap corona, nasib WNI eks Suriah agaknya perlu mendapatkan pencermatan yang serius. Kita tahu, mereka yang dari berbagai negara datang ke Suriah saat dikuasai ISIS dengan berbagai tujuan juga telah menjadi ‘pandemi’ global yang menghembuskan hawa panas-dingin serta menimbulkan dilema dan polemik bertubi. Corona, virus yang tidak hidup di udara tapi memerlukan medium untuk menempel ini ditakuti karena tiba-tiba menyerang tubuh seseorang dengan indikasi batuk, demam dan sesak nafas yang bisa berakibat kematian. Sementara WNI eks Suriah dikuatirkan bila pulang ke Bumi Pertiwi akan menebarkan ‘virus’ kekerasan atau membangun sel ekstrimisme untuk melakukan tindak terorisme. Apa betul?

Baik corona maupun terorisme memang sama-sama menjadi kecemasan. Mereka yang sudah terjangkiti ‘kuman’ corona dan terorisme berarti telah berposisi sebagai ‘carrier’ yang membawa penyakit dan akan menularkan pada orang lain. Dalam dunia corona, ada istilah suspect, infected dan recovery. Baik masih level ‘terduga’ atau ‘sudah terjangkiti’ perlu mendapat perhatian khusus dengan tindakan penyembuhan (recovery) yang cepat, terukur dan efektif. Makanya ada kebijakan untuk ‘lock down’ atau dikarantina agar tidak menyebar.
Begitupun dengan WNI eks Suriah rasanya berlaku juga tiga tahapan tersebut sebagaimana dalam tahapan corona. Dalam konteks mereka yang disebut ‘returnis’ ini tentu tidak bisa digeneralisasi bahwa mereka semua adalah ‘virus mematikan’ yang mudah sekali menjangkiti masyarakat sebagaimana virus corona. Bila ditilik dari motivasi mereka yang ke Suriah ini juga bermacam. Bukan semata hanya untuk menjadi kombatan atau hidup dalam negeri yang bersyariat, tapi banyak sekali yang tujuannya ‘duniawi’ seperti mencari penghidupan yang lebih baik, ingin kuliah gratis dan lainnya.

Melihat suatu ‘penyakit’ dengan ‘manusia’ yang berdinamika tentu sangat jauh beda. Namanya virus semacam corona tak akan mengenal belas kasih. Bila sudah merasuk ke tubuh seseorang akan menggerogoti kesehatan dan menyebabkan penurunan stamina dan bisa membawa kematian. Itupun masih bisa ditangkal dengan ikhtiar penyembuhan melalui medis. Tetapi, manusia sebagai makhluk yang bisa move on dan berdialektika dengan lingkungan sangat mungkin bisa berubah dan lalu kembali pada jalur fitrahnya yang manusiawi. Pada dasarnya, manusia tidak terlahir radikal, karenanya manusia bisa di-upgrade untuk kembali pada asal muasalnya sebagai makhluk moderat.

Mereka Tak Sama
Siang itu, sekira pukul 11.00 WIB, tetiba di Sekretariat Rudalku kedatangan ‘tamu istimewa’, pria berperawakan sedang, berjenggot, bercelana cingkrang dan berwajah Arab. Dalam hati saya, wah ini orang punya tampang khas ‘Wahabi banget’ yang terkesan seram. Namun setelah berbincang-bincang barulah ketahuan kalau dia orangnya ramah dan terbuka. Namanya Wildan Fauzi Bahresi Al-Qahthoni alias Umair alias Abu Aisyah asal Malang Jatim.

Apanya yang menarik dari pria lulusan UMM jurusan IT dan ingin meneruskan S2 untuk mendalami disiplin ilmu cyber forensik ini? Ya, Wildan pernah selama 7 bulan di Suriah tahun 2014. Dia berangkat ke sana setelah ikut taklim pada Abu Jandal. Dia mengaku awalnya punya motivasi untuk kemanusiaan, ingin membantu rakyat Suriah yang menurutnya sedang dalam kondisi terzalimi oleh rezim Basyar Assad. Setiba di sana mulanya memang dia lebih banyak berkutat di rumah sakit dan belajar selama seminggu untuk bedah medis. Namun seiring tuntutan keadaan, Wildan pun ikut angkat senjata dengan terlebih dahulu melakukan pelatihan militer (tadrib asykari) selama 2 bulan. Setelah dirasa mampu, Wildan pun terjun di medan perang dengan mengusung bendera Jabhah Nushroh (JN).

Wildan kemudian balik ke Indonesia. Kepulangannya belum sampai pada deklarasi berdirinya ISIS olel Al-Baghdadi tahun 2014. Jadi dia tidak mengalami suasana brutalisme ISIS saat berkuasa. Singkat cerita sepulang dari Bumi Syam itu, dia kemudian ditangkap Densus dan lalu divonis pengadilan 5 tahun penjara. Namun hanya 3,5 tahun dia menjalani masa hukuman di penjara Jombang. Tahun 2019, terhitung baru sekitar 5 bulanan ini dia bebas. Dia kembali ke Bangil di rumah orang tuanya yang punya yayasan anak yatim. Dia pun ikut aktif mengelola yayasan yang didirikan abahnya itu.
Wildan merasakan betapa hidup di Indonesia ini begitu damai. Kontras sekali dengan suasana di Suriah yang begitu mencekam, mayat-mayat bergelimpangan, anak-anak yang tewas akibat bom fospor, bunyi senapan, bom dan lainnya. Kendati dia masih meyakini akan berdirinya khilafah, tetapi baginya ini tidak perlu dilakukan dengan kekerasan. Hanya Allah yang kelak menentukan waktunya. Umat Islam hanya perlu berdoa dan menjalani kehidupan yang baik. Wildan bahkan bercerita saudaranya yang tinggal lama di Arab, beberapa waktu pindah ke Indonesia dan kini bermukim di Malang. Alasannya, Indonesia lebih damai daripada hidup di Timur Tengah yang penuh gejolak dan malah sudah ‘tidak Islami’ lagi. Artinya, hidup di Indonesia lebih merasakan kehidupan yang ‘Islami’. Yah, bagi Wildan kembali ke bumi pertiwi lebih memesona karena bisa merasakan kehidupan yang elok nan damai.

Selama menikmati masa bebas ini Wildan belum bekerja. Wildan berasa sulit mencari kerja. Wildan yang beranak satu dan sudah cerai dengan istrinya ini hari-harinya diisi dengan menganggur. Kadang jualan apa yang bisa dia tawarkan atau hanya bermain game, hobi yang sudah lama dia gilai. ‘”Susah sekali cari kerja, Mas. Jangankan soal kerja ya, cari istri aja sulit, karena saya ini eks napiter, jadi orang mikir-mikir menjodohkan anaknya, he he,” tuturnya. Dia sebenarnya ingin bekerja di bidang industri kreatif. Bakatnya soal dunia IT memang memungkinkannya untuk masuk di bursa kerja ini. Bahkan, saudaranya di Malang yang punya perusahaan pun tak mau menerimanya untuk jadi karyawan. Lagi-lagi, gegara stigma eks napiter. Alamak! Cekidot.

Wildan tak sendiri. Ratusan WNI eks Suriah yang sudah kembali ke bumi pertiwi dan kini menyebar ke berbagai daerah juga merasakan hal yang sama. Bahkan untuk seorang Dania, returnis anak seorang direktur Otorita Batam, Wahyu Budi Wiwoho yang berangkat ke Suriah bersama 19 keluarganya dan kini kisah dramatisnya di Suriah difilmkan oleh Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) dengan judul “Seeking The Imam”. Usut punya usut, ternyata Dania belum merasakan reintegrasi sosial secara baik dengan warga sekitar rumahnya di Depok. Begitupun Febri Ramdani, yang ke Suriah menyusul ibunya dan saudaranya yang terlebih dahulu di sana, yang barusan meluncurkan buku kisahnya bertajuk “100 Hari Di Bumi Syam’ mengaku bila tetangganya belum mengetahui kalau dia dan keluarganya adalah returnis.
Dania dan Febri adalah contoh returnis yang pupus harapan akibat ‘angan-angan yang gagal” saat mereka mendarat di Suriah untuk mengangankan hidup di negeri “syariat’. Kini, keduanya dan juga Wildan merasakan Bumi Pertiwi jauh lebih memukau dibanding Bumi Syam. Dan saya yakin, ratusan returnis yang kini sudah bermukim di Bumi Pertiwi tak sedikit yang merasakan itu.

Seperti halnya Junaidi, returnis yang saat di Suriah bergabung sebagai kombatan ISIS selama 6 bulan dan berhasil kembali hidup bersama di masyarakat. Juniadi sekarang berdagang mobil dengan modal dari orang tuanya. Kabarnya, dia pernah ditawari ratusan juta untuk tambahan modal jual beli mobil dari sebuah jaringan ekstrim di Malang, tapi dia tolak.
Ingak-ingak! Status returnis ini perlu dibedakan dengan ‘deportan’. Returnis adalah mereka yang sudah berhasil masuk ke Suriah dan hidup selama beberapa lama. Mereka sudah merasakan getir pahit hidup di Suriah ketika dikuasai ISIS dengan segala brutalitasnya. Beda dengan deportan, mereka ini berkeinginan untuk ke Suriah, tapi karena ada halangan, mereka terdampar di Turki selama beberapa waktu. Mimpi mereka karam untuk berjuang ke Suriah dan harus kembali ke negeri asalnya. Seperti Akbar Muzakir yang pernah saya temui. Dia jual rumah demi hasrat membara untuk menyambut kekhalifahan di Suriah yang dideklarasikan ISIS. Namun apa daya, dia selama 9 bulan terkatung-katung hidup di Turki. Dia gagal masuk Suriah dan lalu dipulangkan ke Indonesia. Kini dia bekerja ngojek. Karena masih belum merasakan pedihnya hidup di bawah penguasaan ISIS, Akbar masih menyala-nyala tentang ‘sah’-nya kekhalifahan di Suriah berdasar hadits-hadits yang dia baca. Akbar ini memang lulusan sebuah pesantren Persis sehingga dia cukup akrab dengan kitab-kitab berbahasa Arab.

Untung Akbar hingga saat ini tidak melakukan amaliyat apapun. Beda dengan deportan lain seperti kasus Young Farmers dan Anggi Kusuma. Dua orang deportan ini berencana membuat bom kimia di Bandung melampiaskan ‘jihad’ mereka. Ada lagi, Rullie Ria Zeke dan istrinya Ulfah Handayani Saleh. Suami-istri ini adalah deportan yang melakukan aksi bom istimata (bunuh diri) di gereja Sulu, Filipina Selatan. Mereka ini sudah pernah menjalani rehabilitasi di panti Kemensos. Konon juga Cholid Abu Bakar otak dari serangan bom bunuh diri di gereja Surabaya, ternyata juga berstatus deportan dan juga sudah menjalani proses rehabilitasi di panti .

Ini yang terjadi pada deportan. Lantaran gagal masuk ke Suriah sehingga mereka masih penasaran. Mereka masih terbawa oleh impian kekhalifahan dan karenanya perlu dituntaskan di negeri lain. Mereka belum terbelalak dengan kekejian ISIS yang begitu horor. Tentu berlawanan sekali dengan yang dirasakan returnis. Mereka dengan mata telanjang tahu bagaimana yang terjadi sesungguhnya di Suriah dibawah kungkungan ISIS. Impian kandas, maka mereka gontai dan menyadari telah salah memilih jalan.
Kita memang tidak menutup mata, ’kerak-kerak’ doktrin kekhalifahan masih ada yang menempel di kepala mereka. Ibarat mencegah virus corona, kita perlu sering cuci tangan dengan sabun dan menjaga stamina tubuh dengan makanan bergisi, apa yang masih menjadi ‘remah-remah’ yang menelusup di dinding-dinding otak para returnis itu, perlu ‘dicuci’ dengan penangkal yang manjur, termasuk adalah dengan pendekatan literasi. Sebab, dengan literasi akan menghilangkan sumbatan-sumbatan dalam aliran pikiran mereka yang mungkin masih tersisa agar mereka tidak lagi ‘bermimpi’ mesianistik yang kebablasan. Dalam literasi Islam, terhimpun banyak kitab yang bisa menghambat peredaran pikiran ekstrem sehingga hilang noda-noda dan menjadi moderat. Sebagaimana hasil wawancara dengan Wildan, dia sendiri mengakui kurang baca dan menurutnya banyak kalangan returnis dan juga jihadis yang sangat kurang bacaannya. Ini yang melempangkan jalan menuju ekstremisme.

Para returnis yang kini sudah di tinggal kembali di Bumi Pertiwi ini sudah meruapkan penyesalan dan kesesatan jalan yang telah mereka tempuh. Saya kira, ini bukan ’kesadaran palsu’, tetapi kesadaran yang mumbul dari pengalaman galang-gulung mereka selama di Suriah yang berakhir dengan keperihan dan kepedihan. Ini adalah ‘modal’ untuk mengajak mereka ke jalan yang lurus berbasiskan keindonesiaan dan keislaman yang moderat.

Literasi Dua Arah
Sekarang bagaimana ‘mengelola’ para returnis yang sudah bermukim di negeri kita. Jumlah ratusan ini memang sudah terdetek. Dari data yang ada, sebagian besar mereka masih ‘mengisolir diri’. Terlebih saat isu pemulangan WNI eks Suriah tengah ramai diributkan. Mereka wajar menjadi kuatir dengan keselamatan mereka. Kita tahu masyarakat kita masih mudah terprovokasi oleh isu-isu yang tidak benar semacam hoax atau bahkan fake news. Padahal mereka sudah hidup berbaur di masyarakat menjalani kehidupan normal. Hingga saat ini mereka belum terendus melakukan tindakan yang membahayakan.

Masyarakat perlu mendapatkan pemahaman yang tepat tentang sosok-sosok returnis. Tidak semua mereka yang di sana melakukan kegiatan kombatan. Banyak mereka yang termakan janji ISIS. Jadilah mereka ‘korban’ dari imperium kekhalifahan semu yang dibangun ISIS ini. Nah, masyarakat sudah sepatutnya menerima kehadiran WNI eks Suriah yang sudah berada di Bumi Pertiwi ini. Penerimaan masyarakat akan menambah rasa percaya diri para returnis untuk bisa membaur secara sosial. Sebaliknya, stigmatisasi yang berlebihan justru akan menimbulkan keterpinggiran dan rasa ternistakan bahkan ditakutkan adanya ‘daur ulang’ kekerasan yang berkelanjutan. Di negeri kita tidak sedikit LSM yang siap untuk ikut serta dalam rehabilitasi para returnis ini. Pemerintah tidak bisa sendirian untuk menangani masalah ini.
Soal pemulangan WNI eks Suriah yang masih di Suriah yang kabarnya hanya untuk anak-anak yatim piatu maksimal umur 10 tahun, kita kembalikan pada kebijakan pemerintah. Pemerintah tentu akan memilih jalan terbaik demi melindungi rakyatnya. Akhirnya, lagi-lagi pentingnya ‘jihad literasi’ demi membuka pengetahuan, wawasan dan kesadaran returnis untuk lebih mencintai Bumi Pertiwi.

Penulis adalah Marbot di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (RUDALKU)